Ketegangan di Padang Sarai: MUI Sumbar Desak Penyelidikan Menyeluruh atas Pembubaran Rumah Doa

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketegangan merebak di kawasan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, ketika puluhan warga mendatangi sebuah rumah yang digunakan sebagai tempat ibadah oleh jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), Minggu sore (27/7). Rumah di RT 03 RW 09 itu mendadak menjadi episentrum gejolak sosial yang memantik reaksi luas, dari media sosial hingga para tokoh nasional.

Dalam rekaman video yang menyebar cepat di berbagai platform, terlihat massa membawa potongan kayu, meneriakkan kalimat bernada marah, sementara jemaat yang tengah melangsungkan doa tampak panik—termasuk anak-anak yang berlarian, sebagian menangis, sebagian lain berlindung di sudut ruangan. Dentuman kayu menghantam pintu dan tembok rumah. Tak hanya ibadah yang terhenti, tapi juga rasa aman yang terkoyak.

Namun, ketika sorotan publik nasional mulai mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk intoleransi, suara yang berbeda datang dari internal Sumatera Barat. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, merespons tajam namun berhati-hati. Bagi Buya, insiden ini tidak bisa dilihat secara sepihak.

“Kalau demi menyenangkan sekelompok orang umat Islam dikorbankan, MUI Sumbar tidak akan tinggal diam,” tegas Buya Gusrizal dalam pernyataan tertulisnya pada Senin (28/7), yang juga telah disampaikan kepada Wakil Gubernur, Wali Kota Padang, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Buya meminta aparat bertindak objektif, tidak hanya menyoroti respons massa, tapi juga menyelidiki pemicu yang mendasari kejadian tersebut. Menurutnya, ketegangan itu bukan muncul begitu saja, tetapi didahului oleh “faktor pemicu” yang belum diungkap secara terang oleh pihak berwenang.

MUI Sumbar, lanjutnya, tengah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk aparat keamanan, guna memastikan bahwa penyelesaian dilakukan secara menyeluruh—bukan hanya menghukum reaksi, tapi juga menelisik akar aksi yang memicunya.

“Kami sudah mendapatkan informasi bahwa ada pemicu dari kegiatan tersebut. Tidak bisa serta-merta masyarakat lokal disalahkan tanpa menyelidiki penyelenggara kegiatan dan konteks lokasi tempat ibadah itu,” ujarnya.

Buya juga mengkritik keras narasi dari sejumlah tokoh nasional yang dinilainya terlalu cepat menghakimi tanpa memahami konteks lokal secara mendalam.

“Kami sangat tersinggung dengan sikap sebagian tokoh dari luar Sumatera Barat yang hanya mendapat informasi satu arah, lalu mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan umat Islam,” tambahnya. “Kalau ini terus berlanjut, kami akan mengambil sikap tegas.”

Pernyataan MUI ini menempatkan kasus Padang Sarai dalam konteks yang lebih kompleks dari sekadar insiden intoleransi. Pertanyaan-pertanyaan mulai bergulir: Apakah rumah yang digunakan sebagai rumah doa itu memiliki izin formal? Siapa penyelenggaranya? Apakah sebelumnya sudah ada dialog dengan warga atau otoritas setempat?

Polisi sejauh ini menyatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung. Beberapa pelaku yang terlihat dalam video viral akan diperiksa atas dugaan perusakan. Namun, hingga kini belum ada informasi resmi mengenai status hukum penyelenggara kegiatan doa yang dibubarkan itu.

Ketegangan ini memperlihatkan tarikan kepentingan antara jaminan kebebasan beragama dan sensitivitas sosial di tingkat lokal. Dalam masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, harmoni sosial kerap diuji oleh persepsi tentang ruang bersama, hak individu, dan pengakuan formal negara atas aktivitas keagamaan.

Di tengah kecamuk tersebut, suara-suara moderat dari dalam Sumatera Barat menyerukan keadilan yang tidak berpihak. Sebab jika tidak, yang tumbuh bukan sekadar luka sosial, tetapi polarisasi berkepanjangan yang bisa menjalar ke ranah politik dan keamanan.

Bagi sebagian warga Padang Sarai, peristiwa ini bisa jadi sekadar insiden yang berumur pendek. Tapi bagi republik yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, insiden ini menandai babak penting: sejauh mana prinsip hidup bersama diuji oleh perbedaan, dan apakah hukum bisa hadir sebagai penyeimbang, bukan sekadar pemadam amarah.

Related posts