Ketika Buaya Menyerang, Siapa yang Sebenarnya Mengganggu?

  • Whatsapp

Oleh: Advokat sekaligus Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, Ki Jal Atri Tanjung

Akhir-akhir ini, berita tentang buaya menyerang manusia semakin sering terdengar khususnya di Kabupaten Pasaman Barat. Reaksi spontan kita tentu saja menyalahkan sang predator: “Buaya itu ganas, buaya itu membahayakan!” Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya—benarkah buaya yang mengganggu manusia, atau justru manusialah yang lebih dahulu mengusik kenyamanan buaya?

Buaya bukan binatang peliharaan. Ia hidup sesuai kodratnya: di sungai, di rawa, atau di muara. Ia tidak punya keinginan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun, ketika habitatnya rusak karena pencemaran limbah industri, pupuk kimia, perkebunan sawit, dan tambang yang tak terkendali, buaya kehilangan tempatnya. Maka, ia pun menyusuri tepian-tepian baru, mencari tempat hidup yang layak—meski harus melintasi wilayah manusia.

Inilah ironi terbesar dari pembangunan yang abai terhadap ekosistem. Kita bangga membangun kebun sawit seluas-luasnya demi keuntungan ekonomi, tapi menutup mata terhadap dampaknya bagi lingkungan. Kita membabat hutan, mengeringkan rawa, membuang limbah ke sungai, lalu terkejut ketika buaya keluar dari persembunyiannya.

Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memindahkan buaya atau memasang pagar di pinggir sungai. Solusinya harus menyentuh akar persoalan: bagaimana menjaga kelestarian lingkungan hidup, bagaimana menata pembangunan agar selaras dengan hukum alam. Kita perlu mengakui bahwa setiap spesies punya hak hidup, dan bahwa ketidakseimbangan ekologis pada akhirnya akan berbalik menyerang manusia sendiri.

Serangan buaya bukan sekadar tragedi. Ia adalah peringatan alam. Jika kita terus mengeksploitasi tanpa kendali, jangan heran jika makhluk-makhluk yang terusir itu suatu hari akan mengetuk pintu kita—bukan sebagai tamu, tapi sebagai tanda protes dari alam yang terluka.

Related posts