MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Pada tahun 1935, yaitu ketika berumur 18 tahun, Djalaluddin muda yang begitu semangat menggali ilmu-ilmu agama sebanyak mungkin mengambil keputusan untuk meninggalkan tanah Minang untuk mendalalami ilmu yang lebih luas. Negeri tujuannya tidak tanggung-tanggung, yaitu Kota Mekah yang saat itu tengah populer di mata pelajar Muslim nusantara lantaran keberadaan sejumlah ulama besar dan dikagumi umat skala dunia. Sama seperti yang dialami oleh HMD. Dt. Palimo Kayo pada masa mudanya, untuk menuju Mekkah, Buya Djalaluddin kala itu harus menempuh Negeri Malaysia dan melewati India.
Namun saat di India Buya Djalaudin menyempatkan menuntut ilmu selama tujuh bulan yang memang di sana terdapat sejumlah perguruan Islam yang terkenal dan disegani seperti Lucknow dan Aligarh. Tidak itu saja, beliau bahkan mengunjungi sejumlah kota-kota di tanah India yang waktu itu masih di bawah penjajahan Inggris di mana Pakistan juga masih dalam kesatuan India. Pada masa-masa itu pula Buya Djalaluddin berjumpa dengan Haji Darwas yang juga kebetulan hendak bepergian ke Mekah.
Sekitar Bulan September 1935, Buya Djalaluddin akhirnya tiba di Mekkah dan mulai menjalani aktivitas menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Thahir yang juga Imam Masjidil Haram saat itu. Ada sekitar empat tahun beliau menutut ilmu di Kota suci ini hingga tahun 1939. Adapun bidang studi yang paling dirinya minati saat di Mekkah adalah studi Tafsir dan Hadist. Ada banyak orang Indonesia yang seperguruan dengan beliau selama belajar di Mekkah. Di antaranya dalah Haji Darwas Idris, (yang kelak akan menjadi tokoh Muhammadiyah Sumbar dan pernah menjadi dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol). Selain itu ada nama Zaidan Abdus Shamar yang kelak menjadi sekretaris Kedutaan Indonesia di Arab Saudi.
Ternyata, di sampan (perahu kecil) ia sibuk dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman, Buya Djalaluddin juga aktif kegiatan keilmuan lainnya, yaitu mengajar di Madarasah Indonesia di Arab Saudi yang saat itu dipimpin oleh Syekh Djanan Thaib yang dikenal sebagai alumnus Indonesia pertama dari Universitas Al-Azhar.
Belakangan Buya akhirnya dipercaya menjadi salah seorang pengurus di madrasah tersebut selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian, ada lagi aktivitas Buya Djalaluddin yang kali ini bersifat sosial, yaitu keterlibatan beliau dalam perkumpulan para perantau asal Indonesia yang bermukim di Mekkah atau diistilahkan dengan Komite Mukimin Indonesia di Mekkah. Bahkan Buya juga tergabung pula ke dalam organisasi yang lebih spesifik lagi yaitu Parpindo yaitu Persatuan orang-orang Indonesia dan Malaysia yang ada di Mekkah.
Setelah belajar selama empat tahun lebih, maka pada tahun 1939 Buya Djalaluddin mengakhiri pendidikannya di Mekah dan kembali pulang ke kampung halaman.