MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Air bah datang tanpa ampun. Dalam hitungan jam, rumah-rumah roboh, kendaraan terseret arus, dan impian ratusan keluarga hanyut bersama lumpur. Tanah Minang berduka. Namun di balik air mata dan reruntuhan, tersimpan pertanyaan yang mengganjal: apakah ini murni takdir, atau ada tangan-tangan serakah yang turut menciptakan bencana ini?
Bencana alam yang melanda Tanah Minang bukan sekadar angka statistik di berita pagi. Ia adalah duka mendalam yang menembus hati setiap orang Minang, baik yang di ranah maupun di perantauan. Banjir bandang tidak hanya merenggut nyawa dan harta benda—ia merampas masa depan.
Rumah-rumah yang dibangun dengan keringat bertahun-tahun hanyut dalam sekejap. Jalan-jalan terputus akibat longsor, memutus urat nadi ekonomi rakyat. Pedagang kehilangan dagangan, petani kehilangan ladang, dan anak-anak kehilangan sekolah. Ekonomi lumpuh. Kehidupan terhenti.
Yang lebih menyakitkan, pemulihan ekonomi pasca-bencana selalu terasa lambat dan melelahkan. Bantuan pemerintah? Tidak pasti datangnya. Rakyat kecil kembali menjadi korban—bukan hanya korban bencana, tetapi juga korban sistem yang tidak berpihak.
Inilah ironi yang paling pahit: tanah mereka ditambang, hutan mereka dibabat, lingkungan mereka dirusak—dan ketika bencana datang, rakyat jugalah yang menanggung penderitaannya.
Fenomena ini memiliki nama: serakahnomic atau ekonomi keserakahan. Sebuah sistem di mana keuntungan ekonomi yang cepat dan besar menjadi satu-satunya tujuan, tanpa peduli dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Deforestasi masif untuk perkebunan dan tambang, eksploitasi sumber daya alam tanpa perhitungan keberlanjutan, polusi yang mencemari udara dan air—semua dilakukan atas nama pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan untuk siapa? Tentu bukan untuk rakyat yang kemudian harus mengungsi ketika tanah longsor menerjang rumah mereka.
Regulasi ada, tetapi lemah. Pengawasan ada, tetapi mudah diakali. Sementara itu, alam terus diperas hingga kehilangan daya dukungnya. Dan ketika alam membalas, siapa yang menjadi korban pertama? Bukan para pengusaha tambang yang kantongnya tebal. Bukan pejabat yang menerima setoran. Tetapi rakyat kecil yang bahkan tidak pernah merasakan hasil dari eksploitasi itu.
Bencana alam memang bisa menjadi ujian hidup. Namun kita tidak boleh naif. Banyak bencana alam modern yang sebenarnya adalah bencana yang “diundang”—hasil dari aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan.
Hutan yang gundul tidak mampu menahan air hujan, sehingga langsung menjadi banjir bandang. Tambang yang mengubah struktur tanah membuat longsor lebih mudah terjadi. Perubahan iklim global—yang dipercepat oleh industrialisasi rakus—membuat cuaca semakin ekstrem dan tidak terprediksi.
Jadi ketika kita mengatakan “ini takdir,” kita sebenarnya sedang menutupi tanggung jawab manusia atas kehancuran yang terjadi.
Untuk menghentikan siklus bencana dan penderitaan ini, diperlukan perubahan fundamental:
Pertama, kita harus mengubah paradigma ekonomi dari yang berbasis keserakahan menjadi ekonomi berkelanjutan yang menghormati keseimbangan alam. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh lagi diukur hanya dari angka GDP, tetapi juga dari kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan.
Kedua, kesadaran dan pendidikan lingkungan harus menjadi prioritas. Masyarakat perlu memahami bahwa menjaga lingkungan bukan hanya soal idealisme, tetapi soal kelangsungan hidup.
Ketiga, regulasi dan pengawasan terhadap industri yang berpotensi merusak lingkungan harus diperketat dan ditegakkan dengan tegas. Tidak ada lagi kompromi ketika menyangkut keselamatan rakyat dan kelestarian alam.
Keempat, pengembangan energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan harus didorong dan didukung, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta.
Duka Tanah Minang adalah duka kita bersama. Namun duka ini tidak boleh terulang. Kita tidak bisa terus menjadi penonton yang pasrah ketika keserakahan segelintir orang menghancurkan kehidupan banyak orang.
Sudah saatnya kita berkata tidak pada serakahnomic. Sudah saatnya kita menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang merusak lingkungan demi keuntungan pribadi. Sudah saatnya kita membangun sistem ekonomi yang tidak hanya menghasilkan uang, tetapi juga menjaga kehidupan.
Karena pada akhirnya, tidak ada ekonomi yang bisa tumbuh di atas tanah yang hancur. Tidak ada kemakmuran yang bisa dibangun di atas penderitaan rakyat.
Tanah Minang harus bangkit. Dan kebangkitan itu dimulai dengan menolak keserakahan, merangkul keberlanjutan, dan menempatkan kehidupan di atas keuntungan.
Oleh: Ki Jal Atri Tanjung Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat






