Oleh: Ahmad Hafiz, SH., C.CLA (Direktur LBH Gelora Indonesia)
Ada yang mengganjal dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Dengan alasan teknis dan efisiensi penyelenggaraan, MK memutuskan bahwa Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah tak lagi diselenggarakan secara serentak. Pemilihan kepala daerah dan DPRD akan digelar paling cepat dua tahun, dan paling lambat dua setengah tahun, setelah pemilu presiden dan legislatif nasional berlangsung.
Sekilas terdengar sederhana: hanya soal jeda waktu. Tapi dalam logika ketatanegaraan, keputusan ini membuka ruang perdebatan besar—tak hanya soal konstitusionalitas, tapi juga arah kekuasaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. MK, yang selama ini kita kenal sebagai negative legislator, tampak mulai melangkah ke wilayah yang selama ini menjadi domain parlemen: pembentuk norma hukum baru.
Putusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana wewenang Mahkamah Konstitusi dapat ditarik untuk merumuskan norma baru? Apakah menafsirkan konstitusi juga berarti bebas menciptakan tafsir yang mengubah sistem politik?
Pasal 22E UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa pemilu dilakukan setiap lima tahun untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Tidak ada kata jeda di antara jenis-jenis pemilu. Tidak juga ada ruang untuk penundaan parsial. Oleh karena itu, pemisahan waktu pelaksanaan pemilu melalui keputusan yudisial ini bukan lagi sekadar interpretasi, melainkan kreasi hukum baru yang secara substansial mengubah sistem yang telah berlaku sejak reformasi.
Kita tidak sedang berbicara soal teknis pemilu semata. Kita sedang berbicara soal makna kedaulatan rakyat, yang oleh konstitusi dirancang hadir dalam siklus tetap dan serentak—agar suara rakyat tidak terpecah, dan legitimasi politik tidak timpang.
Dengan adanya jeda dua tahun itu, ada risiko nyata terjadinya kekosongan kekuasaan di tingkat lokal. Jika masa jabatan DPRD habis dan pemilu belum digelar, siapa yang akan menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi di daerah? Apakah akan diperpanjang melalui peraturan pemerintah? Ataukah akan terjadi kekosongan hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945, yang mengamanatkan adanya DPRD sebagai lembaga representasi rakyat di daerah?
Kita juga tidak boleh lupa sejarah. Pada 2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan serupa dari Partai Gelora yang mengajukan judicial review atas keserentakan pemilu. Waktu itu, MK berpendapat tidak ada alasan hukum atau kondisi fundamental yang mendesak untuk mengubah sistem serentak. Lalu apa yang berubah sekarang? Apakah beban teknis penyelenggaraan pemilu sudah cukup menjadi alasan konstitusional?
Jika Mahkamah bisa mengubah sikap hanya dalam lima tahun dengan alasan yang dulu justru ditolaknya sendiri, lalu di mana letak konsistensi lembaga ini sebagai penjaga konstitusi?
Kekhawatiran terbesar bukan terletak pada keputusan itu sendiri, melainkan pada preseden yang diciptakannya. Jika Mahkamah Konstitusi dapat menciptakan norma baru dalam hukum pemilu, bukankah itu membuka peluang bagi pengambilan-alih fungsi legislatif oleh lembaga yudikatif?
Pakar hukum tata negara UII, DR. Jamaludin Ghofur, menyebutnya sebagai gejala awal “otoritarianisme baru.” Mahkamah, menurutnya, perlu diberi rambu agar tidak menjadi institusi yang tak tersentuh, yang bisa melangkahi prinsip pembagian kekuasaan dalam trias politica.
Kita semua tentu mengakui bahwa penyelenggaraan pemilu serentak bukan perkara mudah. Namun bukan berarti kesulitan teknis menjadi alasan untuk menggeser prinsip konstitusional. Apalagi, dalam negara hukum, segala bentuk perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan semestinya melalui proses legislasi yang terbuka dan deliberatif—bukan lewat ruang sidang terbatas sembilan hakim.
Demokrasi tidak dibangun dengan mempermudah teknis, melainkan dengan memperkuat legitimasi. Dalam hal ini, putusan Mahkamah justru membuka ruang delegitimasi: terhadap waktu, terhadap pemilih, dan terhadap prinsip dasar bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan.
Maka pertanyaan berikutnya adalah: akankah pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan ini? Jika ya, maka mereka ikut melegitimasi proses yang cacat sejak awal. Jika tidak, maka kita menghadapi potensi ketegangan antara norma konstitusi, hukum positif, dan putusan yang bersifat final tapi tidak mutlak.
Yang pasti, putusan ini menandai babak baru dalam relasi kekuasaan yudisial dan legislatif. Dan kita patut khawatir, jika Mahkamah mulai melangkah ke wilayah yang bukan miliknya, tanpa pengawasan yang memadai, dan tanpa koreksi dari publik yang kritis.
Karena dalam demokrasi, bahkan hakim konstitusi pun tidak boleh merasa diri sebagai konstitusi itu sendiri. (***)




