Oleh: Ki Jal Atri Tanjung
(Advokat & Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumbar)
Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik Indonesia yang tak pernah sepi dari kontroversi, sebuah pertanyaan mendasar terus bergema di benak jutaan rakyat: apakah mereka yang duduk di singgasana kekuasaan hari ini benar-benar pemimpin, atau sekadar penguasa yang memabukkan diri dengan otoritas? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika filosofis, melainkan refleksi kritis atas realitas yang kita hadapi—sebuah realitas di mana garis tipis antara “memimpin” dan “menguasai” kerap kabur, bahkan hilang sama sekali.
Bangsa ini telah terlalu lama menyaksikan bagaimana kursi kekuasaan dijadikan panggung pertunjukan ego, bukan amanah suci untuk melayani. Terlalu sering kita melihat mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru bertingkah seperti raja-raja modern yang jauh dari sentuhan realitas kehidupan masyarakat. Dan yang paling memprihatinkan, pengkhianatan terhadap amanah rakyat seolah telah menjadi “kewajaran” baru dalam lanskap politik kita.
Ketika seorang individu dilantik menjadi pemimpin—entah sebagai presiden, menteri, gubernur, bupati, atau walikota—sejatinya ia sedang menerima sebuah kontrak suci dari rakyat. Kontrak ini bukan sekadar formalitas administratif yang tertuang dalam sumpah jabatan, melainkan ikatan moral dan etis yang mengikat pemimpin dengan nasib jutaan manusia yang telah menaruh kepercayaan padanya.
Pemerintah sebagai penguasa idealnya harus melampaui fungsi administratif belaka. Mereka harus menjadi pemimpin sejati—sosok yang memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat dengan kepekaan yang mendalam, bukan sekadar mendengarkan laporan yang telah dikemas rapi oleh para birokrat. Pemimpin yang sejati memiliki kemampuan untuk merasakan detak nadi masyarakat, menangkap keluh kesah yang bahkan tidak sempat terucapkan, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan rakyat banyak.
Namun kenyataannya, tidak semua penguasa memiliki kapasitas dan integritas untuk menjadi pemimpin. Terlalu banyak yang menggunakan kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya sesuai dengan keinginan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa memahami—atau bahkan peduli—terhadap kebutuhan riil rakyat. Mereka tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk kemajuan bangsa, melainkan sekadar melanggengkan status quo demi kepentingan jangka pendek.
Perbedaan antara penguasa dan pemimpin terletak pada orientasi fundamental mereka. Penguasa berorientasi pada kekuasaan itu sendiri—bagaimana mempertahankannya, memperluas jaringan pengaruh, dan mengamankan posisi. Sementara pemimpin berorientasi pada pelayanan—bagaimana mempengaruhi positif, memotivasi, dan melayani rakyat dengan sepenuh hati. Pemimpin yang baik harus transparan dalam setiap kebijakan yang diambil, akuntabel atas penggunaan setiap rupiah uang rakyat, dan bertanggung jawab penuh atas segala tindakan dan konsekuensi dari keputusan yang dibuat.
Indonesia hari ini sedang menghadapi krisis kepemimpinan yang tidak kasat mata namun dampaknya sangat nyata. Krisis ini bukan dalam bentuk kekosongan jabatan atau ketiadaan struktur pemerintahan, melainkan krisis substansi—krisis kualitas kepemimpinan yang berakar pada hilangnya integritas dan komitmen terhadap amanah rakyat.
Ketika penguasa gagal—atau memilih untuk tidak—menjadi pemimpin bagi rakyatnya, konsekuensinya bersifat sistemik dan menjalar ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama dan paling fundamental adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kepercayaan adalah mata uang paling berharga dalam hubungan antara pemimpin dan rakyat. Tanpa kepercayaan, segala kebijakan akan disambut dengan skeptisisme, setiap program akan dianggap pencitraan, dan komunikasi antara pemerintah dan rakyat akan menjadi monolog tanpa resonansi.
Di Indonesia, kita telah menyaksikan bagaimana erosi kepercayaan publik terjadi secara perlahan namun pasti. Survei demi survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara terus merosot. Rakyat tidak lagi yakin bahwa aspirasi mereka akan didengar, bahwa keluhan mereka akan ditanggapi, atau bahwa kehidupan mereka akan membaik di bawah kepemimpinan yang ada.
Kedua, keterlambatan dalam pembangunan dan kemajuan masyarakat menjadi konsekuensi langsung dari kepemimpinan yang tidak visioner. Pembangunan bukan hanya soal megaproyek infrastruktur yang megah, melainkan tentang peningkatan kualitas hidup rakyat secara menyeluruh—pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang terjangkau, lapangan kerja yang memadai, dan jaminan sosial yang kuat. Tanpa pemimpin yang memiliki visi jangka panjang dan komitmen untuk merealisasikannya, pembangunan akan stagnan atau bahkan bergerak ke arah yang salah.
Ketiga, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi adalah indikator paling kasat mata dari kegagalan kepemimpinan. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi, di mana segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan sementara jutaan rakyat berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kesenjangan ini bukan fenomena alamiah, melainkan hasil dari kebijakan yang tidak adil dan sistem yang menguntungkan segelintir elite.
Keempat, tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat merupakan pengkhianatan paling elementer terhadap amanah konstitusional. Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa negara berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warga negara—pendidikan, kesehatan, pekerjaan, tempat tinggal yang layak, dan rasa aman. Namun realitasnya, jutaan anak Indonesia masih putus sekolah, ribuan ibu melahirkan tanpa akses layanan kesehatan yang memadai, dan jutaan pekerja hidup tanpa jaminan sosial.
Kelima, situasi ini dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial yang berbahaya bagi kelangsungan negara. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika rakyat merasa diabaikan, ketika harapan untuk perubahan sirna, dan ketika jalur-jalur penyampaian aspirasi tertutup, maka potensi konflik horizontal dan vertikal akan meningkat drastis. Ketidakstabilan ini tidak hanya mengancam ekonomi dan keamanan, tetapi juga fondasi demokrasi itu sendiri.
Pengkhianatan terhadap amanah rakyat memiliki banyak wajah. Ia tidak selalu datang dalam bentuk yang dramatis seperti kudeta atau revolusi. Seringkali, pengkhianatan terjadi secara perlahan, sistematis, dan dikemas dalam retorika pembangunan atau stabilitas.
Korupsi adalah wajah paling nyata dari pengkhianatan ini. Indonesia telah lama berjuang melawan momok korupsi yang menggerogoti sendi-sendi negara. Dari korupsi kecil-kecilan di tingkat desa hingga mega korupsi yang melibatkan proyek bernilai triliunan rupiah, praktik ini telah merampok hak rakyat untuk mendapatkan layanan publik yang berkualitas. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, hak orang sakit untuk mendapatkan pengobatan yang layak, hak petani untuk mendapatkan infrastruktur irigasi yang memadai.
Penyelewengan kekuasaan adalah bentuk pengkhianatan lain yang tidak kalah berbahaya. Ini terjadi ketika kekuasaan digunakan bukan untuk kepentingan publik, melainkan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu. Praktik nepotisme, kronisme, dan politik dinasti adalah manifestasi dari penyelewengan ini. Jabatan publik diperlakukan seperti warisan keluarga, tender proyek diarahkan kepada kroni, dan kebijakan dibuat untuk menguntungkan segelintir orang.
Kerusakan ekonomi yang diakibatkan oleh korupsi dan penyelewengan kekuasaan bersifat masif dan jangka panjang. Investasi asing enggan masuk karena ketidakpastian hukum dan praktik suap yang merajalela. UMKM sulit berkembang karena harus bersaing tidak adil dengan perusahaan yang memiliki akses ke kekuasaan. Anggaran negara yang seharusnya untuk pembangunan bocor ke kantong-kantong para koruptor.
Lebih jauh lagi, pengkhianatan terhadap amanah dapat menyebabkan krisis keamanan yang mengancam keselamatan rakyat. Ketika aparat penegak hukum tunduk pada kepentingan politik tertentu, ketika lembaga keamanan digunakan untuk membungkam kritik, ketika keadilan dapat dibeli dengan uang, maka rakyat biasa akan menjadi korban. Mereka tidak memiliki perlindungan yang memadai, akses terhadap keadilan, atau jaminan bahwa hak-hak mereka akan dihormati.
Dalam kerangka hukum Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan sebenarnya telah mengatur mekanisme pertanggungjawaban bagi penguasa yang mengkhianati amanah rakyat. Mekanisme impeachment untuk presiden dan wakil presiden, hak angket dan hak interpelasi DPR, serta berbagai undang-undang anti-korupsi adalah instrumen-instrumen yang tersedia.
Namun realitasnya, penegakan hukum terhadap penguasa yang berkhianat masih jauh dari memuaskan. Terlalu banyak kasus korupsi yang berlarut-larut tanpa kejelasan, terlalu banyak pejabat yang terbukti bersalah namun hanya menerima hukuman ringan, dan terlalu banyak pelaku yang berhasil lolos dari jerat hukum karena kekuatan politik atau ekonomi yang mereka miliki.
Sanksi moral dan sosial pun seringkali tidak efektif. Dalam budaya politik kita yang masih kental dengan patronase dan loyalitas buta, politisi yang terbukti korup masih bisa kembali ke panggung politik, masih disambut dengan terbuka oleh partai politik, bahkan masih dipilih kembali oleh sebagian rakyat yang terjebak dalam siklus politik transaksional.
Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, harapan akan pemimpin yang sejati tidak boleh padam. Bangsa Indonesia dan NKRI sangat membutuhkan pemimpin yang benar-benar memahami makna amanah—bukan hanya sebagai konsep filosofis, melainkan sebagai praktik nyata dalam setiap keputusan dan tindakan.
Pemimpin yang amanah adalah mereka yang memiliki integritas tinggi, yang kata-katanya selaras dengan perbuatannya, yang tidak tergoda oleh iming-iming kekayaan atau kekuasaan sesaat. Mereka adalah sosok yang berani mengambil keputusan sulit demi kepentingan jangka panjang bangsa, bukan keputusan populis yang hanya menguntungkan secara elektoral.
Pemimpin yang amanah juga adalah mereka yang menjadikan diri sebagai teladan bagi rakyat. Dalam perilaku sehari-hari, dalam kesederhanaan gaya hidup, dalam kerendahan hati menghadapi kritik, dan dalam ketegasan menegakkan hukum—termasuk terhadap diri sendiri dan orang-orang dekat mereka. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang jujur mengakui keterbatasan dan kesalahan, serta memiliki komitmen untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Lebih penting lagi, pemimpin yang amanah adalah mereka yang mampu membangun sistem, bukan hanya mengandalkan karisma personal. Sistem yang kuat—sistem penegakan hukum yang adil, sistem birokrasi yang efisien, sistem demokrasi yang partisipatif—adalah warisan paling berharga yang bisa ditinggalkan oleh seorang pemimpin. Karena sistem yang baik akan terus berfungsi bahkan setelah pemimpin tersebut tidak lagi berkuasa.
Namun perlu diingat bahwa kepemimpinan yang baik tidak muncul dalam ruang hampa. Rakyat juga memiliki peran krusial dalam melahirkan dan mempertahankan pemimpin yang amanah. Rakyat yang cerdas, kritis, dan aktif secara politik adalah prasyarat bagi demokrasi yang sehat.
Rakyat harus belajar untuk tidak lagi terjebak dalam politik identitas atau politik uang. Mereka harus mampu mengevaluasi pemimpin berdasarkan rekam jejak, visi, dan integritas, bukan berdasarkan janji-janji manis atau pemberian sesaat. Rakyat juga harus berani menggunakan mekanisme kontrol sosial—melalui media sosial, organisasi masyarakat sipil, atau gerakan rakyat—untuk mengawasi dan mengkritisi pemimpin yang menyimpang dari amanah.
Lebih dari itu, rakyat harus memahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin setiap lima tahun sekali. Demokrasi adalah proses partisipasi berkelanjutan, di mana rakyat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan publik, mengawasi implementasi kebijakan, dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita memiliki potensi besar—sumber daya alam yang melimpah, populasi muda yang dinamis, posisi strategis secara geopolitik, dan tradisi demokrasi yang terus berkembang. Di sisi lain, kita menghadapi tantangan serius—korupsi yang merajalela, kesenjangan yang melebar, institusi yang lemah, dan krisis kepercayaan publik.
Pilihan ada di tangan kita semua—para pemimpin dan rakyat. Apakah kita akan terus terperosok dalam siklus pengkhianatan amanah yang terus berulang, atau kita akan berani melakukan transformasi fundamental dalam cara kita memilih, mengawasi, dan mengevaluasi pemimpin?
Semoga bangsa Indonesia mendapatkan para pemimpin yang benar-benar amanah, yang tidak mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan rakyat dengan susah payah. Semoga NKRI memiliki penguasa yang sekaligus pemimpin sejati—sosok yang bisa menjadi teladan dalam integritas, dedikasi dalam pelayanan, dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh kekayaan alam atau posisi strategis semata, melainkan oleh kualitas kepemimpinan dan tingkat kecerdasan rakyatnya dalam menuntut akuntabilitas. Dan perubahan itu, sebesar apapun tantangannya, selalu dimulai dari kesadaran bahwa kita berhak—dan berkewajiban—untuk menuntut yang terbaik dari mereka yang kita beri amanah untuk memimpin.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah berhenti bermimpi akan pemimpin yang lebih baik, sambil terus bekerja keras untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Indonesia layak mendapatkan yang terbaik. Dan tugas kita semua adalah memastikan bahwa kelayakan itu tidak hanya menjadi harapan, melainkan realitas yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara, dari Sabang sampai Merauke. wallahu ‘alam
Salam untuk Indonesia yang lebih baik.





