MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya? Mengapa generasi muda kita semakin kehilangan pegangan moral? Jawabannya sederhana namun mengejutkan: fondasi terkuat sebuah bangsa—keluarga—sedang mengalami kehancuran sistematis yang mengkhawatirkan.
Ketika Ponsel Lebih Penting dari Pasangan: Potret Buram Keluarga Modern
Bayangkan sebuah meja makan di malam hari. Seorang ayah sibuk dengan laptopnya, menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak kunjung usai. Sang ibu scrolling media sosial di ponselnya, membandingkan kehidupan rumah tangganya dengan filter Instagram tetangga. Anak-anak? Mereka tenggelam dalam dunia game online, berteriak pada layar, berkomunikasi dengan orang asing di belahan dunia lain—namun tak pernah berbicara dengan orang tua mereka sendiri.
Inilah potret keluarga Indonesia kontemporer yang semakin memprihatinkan. Kita hidup dalam satu atap, namun terpisah oleh layar digital. Kita tidur dalam satu rumah, namun mimpi kita berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.
Data menunjukkan fakta yang tak bisa kita hindari: teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi justru menciptakan jarak emosional yang semakin lebar antaranggota keluarga. Generasi yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini mengalami krisis identitas, kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dasar seperti empati, kesabaran, dan kasih sayang tulus tanpa syarat.
Tekanan Ekonomi: Racun Tersembunyi yang Membunuh Keharmonisan
Namun teknologi bukanlah satu-satunya musuh keluarga harmonis. Ada monster yang lebih besar dan lebih menakutkan: tekanan ekonomi yang semakin mencekik. Di negara dengan ekonomi yang terus bergejolak, kebutuhan hidup yang melonjak, dan gaji yang stagnan, tidak mengherankan jika masalah keuangan menjadi pemicu utama konflik rumah tangga.
Seorang suami yang bekerja siang malam namun tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Seorang istri yang harus bekerja keras membantu ekonomi rumah tangga sambil tetap menjalankan peran domestiknya. Anak-anak yang tumbuh dengan perasaan tidak aman karena sering mendengar pertengkaran orang tua tentang uang. Lingkaran setan ini terus berputar, menciptakan trauma generasional yang sulit diputus.
Yang lebih menyedihkan, banyak keluarga yang kemudian mengambil jalan pintas: berutang ke sistem rentenir modern bernama pinjaman online, menggadaikan masa depan demi kebutuhan hari ini, dan akhirnya terjebak dalam jurang kemiskinan yang semakin dalam.
Ketika Nilai dan Prinsip Bertabrakan: Perang Dingin di Ruang Keluarga
Tantangan lain yang tidak kalah serius adalah konflik nilai dan prinsip dalam keluarga. Generasi tua yang tumbuh dengan nilai-nilai tradisional berhadapan dengan generasi muda yang terpapar budaya global melalui internet. Orang tua yang ingin anak-anaknya menjalankan praktik keagamaan dengan ketat, sementara anak-anak merasa nilai-nilai tersebut sudah tidak relevan dengan zamannya.
Perbedaan pandangan tentang pendidikan, karier, pilihan pasangan hidup, gaya berpakaian, hingga cara menghabiskan waktu luang—semuanya bisa menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak dalam bentuk konflik keluarga yang berkepanjangan. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik dan keterbukaan untuk saling memahami, perbedaan ini akan terus menggerogoti fondasi keluarga dari dalam.
Menghidupkan Kembali Konsep Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah: Solusi dari Warisan Peradaban
Di tengah kehancuran sistematis institusi keluarga ini, Islam menawarkan konsep yang telah teruji selama 14 abad: keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Bukan sekadar slogan romantis atau idealisme yang tidak membumi, melainkan sistem nilai komprehensif yang telah membuktikan kemampuannya membangun peradaban besar.
Sakinah—ketenangan yang lahir dari keimanan dan ketakwaan—adalah fondasi pertama. Ketika suami dan istri sama-sama memahami bahwa pernikahan adalah ibadah, bahwa rumah tangga adalah medan jihad terbesar mereka, maka konflik-konflik duniawi akan lebih mudah dikelola dengan perspektif yang lebih tinggi. Mereka tidak lagi melihat pasangan sebagai kompetitor atau musuh yang harus dikalahkan, melainkan sebagai partner dalam mengarungi samudra kehidupan menuju ridha Allah.
Mawaddah—cinta yang matang dan mendalam—adalah energi yang menggerakkan keluarga. Ini bukan cinta yang dipicu hormon remaja atau obsesi posesif, melainkan kasih sayang tulus yang terus tumbuh seiring perjalanan waktu. Cinta yang tidak hanya berkobar saat masa-masa indah, tetapi justru semakin kuat ketika badai kehidupan melanda. Cinta yang mampu memaafkan kesalahan, merayakan keberhasilan pasangan, dan tetap setia dalam suka dan duka.
Rahmah—kasih sayang yang melimpah dari Allah—adalah mahkota keluarga yang sesungguhnya harmonis. Ketika Allah merahmati sebuah keluarga, maka segala kesulitan akan menjadi ujian yang memperkuat, bukan bencana yang menghancurkan. Rezeki akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang saleh dan salehah, menjadi penyejuk mata orang tua di dunia dan syafaat mereka di akhirat.
Al-Qur’an dan Sains: Ketika Wahyu Bertemu Penelitian Modern
Menariknya, konsep keluarga dalam Islam yang tertuang dalam Surah Ar-Rum ayat 21 ini sejalan dengan temuan penelitian psikologi keluarga modern. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki fondasi spiritual yang kuat cenderung lebih resilient dalam menghadapi krisis. Pasangan yang sama-sama memiliki nilai keagamaan yang kuat memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan risiko perceraian yang lebih rendah.
Konsep sakinah berkorelasi dengan apa yang dalam psikologi disebut sebagai “emotional security”—rasa aman emosional yang menjadi prasyarat kesehatan mental individu dan keluarga. Mawaddah sejalan dengan konsep “mature love” yang dikembangkan oleh para psikolog relasi, yang menekankan komitmen jangka panjang di atas gairah sesaat. Dan rahmah mencerminkan “unconditional positive regard”—penerimaan tanpa syarat yang menjadi fondasi hubungan interpersonal yang sehat.
Langkah Praktis Membangun Keluarga Harmonis di Era Disrupsi
Namun, memahami konsep saja tidak cukup. Kita membutuhkan langkah-langkah praktis dan aplikatif untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah di tengah kompleksitas kehidupan modern.
Pertama, revolusi komunikasi keluarga. Buat aturan tegas tentang penggunaan gadget di rumah. Tetapkan waktu khusus tanpa gadget—misalnya saat makan bersama atau sebelum tidur—di mana semua anggota keluarga wajib berinteraksi secara langsung. Latih kemampuan mendengarkan aktif, bukan hanya mendengar untuk menjawab, tetapi mendengar untuk memahami. Ciptakan budaya di mana setiap anggota keluarga merasa aman untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya tanpa takut dihakimi atau diremehkan.
Kedua, manajemen keuangan berbasis syariah. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perencanaan keuangan. Ajarkan anak-anak tentang konsep rezeki, sedekah, dan tawakal sejak dini. Hindari gaya hidup konsumtif yang didorong oleh tekanan sosial media. Prioritaskan kebutuhan di atas keinginan. Dan yang terpenting, selalu sisihkan sebagian rezeki untuk sedekah dan investasi akhirat—karena harta yang paling berharga adalah yang kita kirimkan ke depan, bukan yang kita tumpuk di belakang.
Ketiga, pendidikan nilai berkelanjutan. Jadikan rumah sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anak. Jangan sepenuhnya menyerahkan pendidikan moral dan agama kepada sekolah atau lembaga pendidikan lain. Orang tua harus menjadi teladan hidup dari nilai-nilai yang mereka ajarkan. Tidak ada gunanya mengajarkan kejujuran jika orang tua sendiri sering berbohong. Tidak ada manfaatnya menyuruh anak salat jika orang tua sendiri jarang ke masjid.
Keempat, investasi waktu berkualitas. Bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Bahkan jika Anda hanya punya satu jam dalam sehari untuk keluarga, pastikan satu jam itu benar-benar berkualitas. Matikan semua distraksi, fokuskan perhatian penuh pada keluarga. Bermain bersama anak-anak, bercanda dengan pasangan, atau sekadar duduk bersama berbagi cerita tentang hari yang telah dilalui. Momen-momen sederhana inilah yang akan dikenang selamanya, bukan materi atau harta yang Anda kumpulkan.
Kelima, bangun tradisi keluarga yang kuat. Ciptakan ritual-ritual khusus yang menjadi identitas keluarga Anda. Mungkin shalat berjamaah di rumah setiap magrib, tadarus Al-Qur’an bersama setelah subuh, atau makan bersama di akhir pekan tanpa terkecuali. Tradisi-tradisi ini akan menjadi lem perekat yang mengikat anggota keluarga, menciptakan rasa memiliki dan identitas kolektif yang kuat.
Keluarga Harmonis: Investasi Jangka Panjang Bangsa
Ketika kita berbicara tentang pembangunan bangsa, kita sering terjebak dalam diskusi tentang infrastruktur, ekonomi, dan politik. Padahal, fondasi sejati sebuah bangsa yang kuat dan beradab adalah keluarga-keluarga harmonis yang menjadi tempat lahirnya generasi berkualitas.
Generasi yang tumbuh dalam keluarga harmonis memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, kemampuan mengelola konflik yang baik, dan karakter yang kuat. Mereka tidak mudah terpengaruh ideologi radikal karena mereka memiliki fondasi spiritual yang kokoh dari keluarga. Mereka tidak mudah terjerat narkoba atau kriminalitas karena mereka merasakan cinta dan perhatian dari keluarga. Mereka tidak korup karena integritas telah ditanamkan sejak dini oleh orang tua mereka.
Sebaliknya, negara dengan tingkat keluarga broken home yang tinggi akan menghadapi berbagai masalah sosial yang kompleks dan berbiaya mahal. Tingkat kriminalitas meningkat, kesehatan mental masyarakat memburuk, produktivitas ekonomi menurun, dan kohesi sosial melemah. Tidak ada pembangunan fisik yang bisa menggantikan kehancuran sumber daya manusia yang dihasilkan dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis.
Peran Negara dan Masyarakat: Kolaborasi untuk Keluarga Berkualitas
Membangun keluarga harmonis bukan hanya tanggung jawab individual setiap keluarga, tetapi juga membutuhkan dukungan sistematis dari negara dan masyarakat. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang pro-keluarga: jam kerja yang manusiawi sehingga orang tua punya waktu untuk keluarga, sistem pendidikan yang mengakomodasi nilai-nilai keluarga, subsidi ekonomi untuk keluarga muda, dan program-program konseling keluarga yang mudah diakses.
Organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU, perlu mengintensifkan program-program pembinaan keluarga yang tidak hanya teoritis tetapi praktis dan aplikatif. Majelis taklim, kajian rutin, dan program mentoring keluarga harus menjadi prioritas, bukan sekadar seremonial keagamaan yang formal.
Media massa juga punya peran penting dalam membentuk narasi positif tentang keluarga. Alih-alih terus menayangkan sinetron yang penuh dengan konflik rumit tangga, perselingkuhan, dan drama yang toxic, media seharusnya lebih banyak menghadirkan konten yang menginspirasi tentang keluarga harmonis dan mengajarkan nilai-nilai positif kepada masyarakat.
Saatnya Revolusi Keluarga Indonesia
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih melanjutkan tren degradasi institusi keluarga dan menuai hasilnya dalam bentuk kehancuran sosial di masa depan. Atau, kita bisa memulai revolusi keluarga—gerakan massal untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keluarga harmonis berdasarkan konsep sakinah, mawaddah wa rahmah.
Revolusi ini dimulai dari rumah kita masing-masing. Dari keputusan kecil sehari-hari untuk mematikan ponsel dan berbicara dengan pasangan. Dari kesabaran ekstra untuk mendengarkan curahan hati anak. Dari komitmen untuk tidak membiarkan masalah keuangan menggerogoti kasih sayang dalam keluarga. Dari kegigihan untuk terus belajar menjadi suami atau istri yang lebih baik setiap harinya.
Ketika jutaan keluarga Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan konsep sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga mereka, maka kita akan menyaksikan transformasi luar biasa di level nasional. Generasi emas yang kita idam-idamkan bukanlah mimpi kosong, melainkan hasil nyata dari investasi kita hari ini dalam membangun keluarga-keluarga berkualitas.
Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh gedung-gedung pencakar langit atau jalan tol yang mulus, melainkan oleh kehangatan rumah-rumah tangga yang penuh cinta dan rahmat Allah. Saatnya kita menjadikan keluarga harmonis bukan sekadar wacana, tetapi realitas yang kita hidupi setiap hari.
Wallahu a’lam bishawab.
Tentang Penulis:
Artikel ini dikembangkan dari pemikiran Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, dengan pengembangan substansi dan narasi untuk memberikan perspektif mendalam tentang pentingnya keluarga harmonis sebagai pilar bangsa.






