Ketum MUI Sumbar Buya Dr. Gusrizal Gazahar Ingatkan Ancaman Sertifikasi Tanah Ulayat terhadap Harta Pusaka Tinggi

MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI – Dalam khutbah Jumat yang disampaikan di Masjid Surau Buya Gusrizal, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, mengingatkan masyarakat akan pentingnya memahami konsep kepemilikan dalam Islam, khususnya terkait risiko sertifikasi tanah ulayat yang dapat mengancam kelestarian harta pusaka tinggi.

Menurut Buya Dr. Gusrizal, upaya sertifikasi tanah ulayat—yang merupakan bagian dari program pemerintah—memiliki potensi membahayakan eksistensi sistem adat Minangkabau yang berakar kuat pada prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.

Buya menilai, jika tanah komunal disertifikasi atas nama individu, maka besar kemungkinan harta pusaka bisa terlepas dari tangan kaum melalui transaksi jual beli atau diagunkan ke bank.

“Kepemilikan sejati adalah milik Allah. Manusia hanyalah mustakhlaf—pemegang amanah yang bertanggung jawab untuk mengelola harta sesuai syariat,” tegas Buya, mengutip Surah Al-Hadid ayat 7 dan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW.

Buya menekankan bahwa harta pusaka tinggi merupakan titipan Ilahi, bukan milik pribadi ataupun kaum secara absolut.

Dalam khutbahnya, Buya Dr. Gusrizal menjelaskan bahwa MUI Sumbar telah mengadakan berbagai muzakarah (diskusi keagamaan) untuk menelaah dampak dari program sertifikasi tanah ulayat. Meskipun pemerintah mendorong langkah ini sebagai bentuk kepastian hukum, MUI khawatir bahwa sertifikasi atas nama individu bisa membuka celah bagi pergeseran kepemilikan secara tidak sesuai dengan prinsip adat dan syariat.

“Kami tidak menentang pemerintah, namun kami merasa perlu mengingatkan bahwa jika tanah ulayat disertifikatkan secara perorangan, maka pusaka kaum bisa lenyap dalam satu generasi,” katanya.

Buya juga mengakui adanya ketegangan antara pandangan ulama dan sebagian pemangku adat. Sebagian tokoh adat menganggap sikap MUI sebagai bentuk intervensi. Namun, Buya menegaskan bahwa MUI tidak memiliki kepentingan pribadi selain menjaga warisan yang menjadi tanggung jawab moral umat.

“Kami hanya menyampaikan peringatan agama. Ini bukan soal kuasa, tapi soal amanah bagi generasi yang akan datang,” imbuhnya.

Menguatkan pandangannya, Buya Dr. Gusrizal mengingatkan kembali nilai historis Sumpah Bukit Marapalam—sebuah konsensus antara ulama dan ninik mamak yang menegaskan bahwa adat Minangkabau harus berlandaskan syariat. Buya juga menyinggung tradisi “malam bamuti”, yaitu kebiasaan masyarakat masa lalu dalam meminta fatwa ulama sebelum mengambil keputusan adat.

Sebagai solusi alternatif terhadap sertifikasi, MUI Sumbar mengusulkan tiga langkah strategis tanpa melanggar prinsip adat dan syariat:

1. Penelusuran Administratif Adat: Pendokumentasian kepemilikan sesuai sistem adat sebagai bukti sah.

2. Pemetaaan Wilayah: Penegasan batas tanah ulayat agar tidak terjadi tumpang tindih.

3. Pengakuan Negara: Status resmi dari pemerintah tanpa sertifikat individual, serupa dengan status hutan lindung yang dijaga bersama.

Menutup khutbahnya, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa berpesan agar masyarakat Minangkabau menjadikan syariat sebagai pedoman utama dalam mengelola harta pusaka tinggi. Ia mengingatkan bahwa segala bentuk kepemilikan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

“Jangan sampai harta pusaka hilang karena salah kelola dan salah langkah. Ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal jati diri dan tanggung jawab peradaban,” ujarnya.

Buya juga menggarisbawahi bahwa dalam sistem matrilineal Minangkabau, harta pusaka tinggi merupakan aset turun-temurun yang diwariskan melalui garis perempuan. Maka dari itu, kebijakan sertifikasi tanah komunal, meski dimaksudkan untuk kepastian hukum, tetap perlu dikaji secara mendalam agar tidak merusak tatanan nilai dan struktur adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Related posts