MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI – Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag., menegaskan bahwa praktik nikah mut’ah yang disandarkan pada Surah An-Nisa ayat 24 merupakan bentuk penyimpangan tafsir yang dapat merusak sendi-sendi syariat dan kehormatan umat Islam.
Dalam kajian tematik yang digelar di Masjid Surau Buya Gusrizal, ia mengkritisi kelompok Syiah yang dinilainya kerap memotong ayat dan menafsirkannya secara literal tanpa mempertimbangkan konteks hukum dan nilai-nilai moral Islam.
“Mereka hanya membaca potongan ayat ‘famastamta’tum bihi minhunna fa’atuhunna ujurahunna faridah’ dan menafsirkan kata ‘ujur’ secara harfiah sebagai upah. Padahal, makna ‘ujur’ dalam ayat itu adalah mahar yang wajib diberikan dalam pernikahan sah, bukan bayaran atas jasa hubungan seksual,” tegas Buya Dr. Gusrizal.
Ia menjelaskan, kata “biamwalikum” dan frasa “muhsinin ghaira musafihin” dalam ayat tersebut menekankan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus dibangun atas dasar pernikahan yang sah, menjaga kehormatan (iffah), dan bukan dalam rangka berbuat zina.
“Jika dibaca secara utuh dan konsisten dengan tafsir para ulama, maka ayat ini justru menjadi dasar untuk menolak mut’ah, bukan membolehkannya,” jelasnya.
Buya Gusrizal juga menyayangkan praktik penafsiran sepotong-sepotong yang berkembang di kalangan pengusung mut’ah, yang menurutnya menyamakan akad pernikahan dengan transaksi komersial. “Itu bukan pernikahan, itu prostitusi berjubah agama,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Buya Dr. Gusrizal juga menyoroti fenomena pergeseran nilai dalam pelaksanaan pernikahan di tengah masyarakat, termasuk mahalnya mahar dan tingginya beban seremonial.
“Kini mahar dibuat sesuai tanggal pernikahan atau ulang tahun, ijab kabul diulang berkali-kali karena susah menyebut nominal yang dibuat-buat. Agama dipersulit dengan gaya hidup,” ujarnya.
Ia menyarankan agar mahar dikembalikan kepada nilai esensialnya sebagai simbol tanggung jawab, bukan sebagai ajang pamer status. “Seperangkat alat salat itu jangan dijadikan mahar utama. Itu kewajiban suami, bukan hadiah,” katanya.
Penegasan soal Penggunaan Masjid: Aula Bukan Tempat Berpesta
Buya Gusrizal juga mengungkapkan dialognya dengan Pemerintah Kabupaten Solok terkait penggunaan aula di bawah Masjid Agung Islamic Center. Ia menegaskan bahwa aula yang menyatu dengan masjid seharusnya tidak digunakan untuk acara seremonial dengan unsur musik dan hiburan.
“Alhamdulillah, Pemda Solok bersedia mendengar. Telah diputuskan aula itu tidak dipakai lagi untuk helatan. Kita berikan masa transisi sampai Juni, tapi dengan SOP ketat: tanpa organ tunggal, tanpa musik,” jelasnya.
Sebagai solusi, ia mendorong agar pemerintah nagari membangun aula nagari yang bisa menjadi alternatif lokasi walimatul ‘urs dengan aturan yang selaras syariat dan budaya lokal. “Kalau bisa diawasi oleh tungku tigo sajarangan, ini bisa menjadi fasilitas masyarakat tanpa mengorbankan kemuliaan masjid,” katanya.
Peringatan atas Penyusupan Ideologi
Buya Gusrizal menutup ceramahnya dengan peringatan terhadap penyusupan paham-paham menyimpang yang menjadikan mut’ah sebagai modus merusak moral remaja. Ia menyerukan agar masyarakat menjaga anak-anak dari propaganda yang mengatasnamakan agama untuk membenarkan perzinaan terselubung.
“Mut’ah bukan syariat. Ia hanyalah sisa praktik masa jahiliyah yang telah dihapus secara tegas oleh Rasulullah. Tidak ada ruang pembenaran dalam Al-Qur’an untuk tindakan itu,” tegasnya.






