MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, menegaskan bahwa ibadah qurban harus dilandasi niat tulus mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk kepentingan duniawi seperti pamer atau politik. Hal itu disampaikannya dalam pengajian fiqh qurban di Masjid Surau Buya Gusrizal, Bukittinggi, Ahad (1/6).
“Jangan sampai ada yang berqurban dengan pesan, ‘Kalau Bapak maju di pemilu, tolong dipilih.’ Itu salah besar,” tegas Buya Gusrizal di hadapan jemaah.
Buya Gusrizal menjelaskan, istilah yang benar dalam fikih Islam adalah udhhiyah, bukan sekadar “qurban”. “Udhhiyah itu penyembelihan hewan ternak di hari-hari tertentu (10-13 Dzulhijjah) dengan niat taqarrub ilallah,”** ujarnya.
Kata “qurban” dalam bahasa Indonesia, meski berasal dari bahasa Arab (qurbān), memiliki makna lebih luas. Sedangkan udhhiyah spesifik merujuk pada ibadah penyembelihan hewan di hari Idul Adha.
Menurut Buya Gusrizal, qurban hukumnya sunah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi yang mampu. Namun, Mazhab Hanafi mewajibkannya bagi yang berkecukupan.
Syarat hewan qurban:
– Kambing (minimal 1 tahun), sapi (2 tahun), atau unta (5 tahun).
– Sehat, tidak cacat.
– Disembelih pada 10-13 Dzulhijjah, setelah shalat Idul Adha.
Buya Gusrizal mengingatkan panitia qurban agar:
1. Tidak menjual daging atau kulit hewan qurban (haram).
2. Membagikan dengan adil kepada fakir miskin dan mustahik.
3. Menghindari praktik “qurban politik” yang menjadikan ibadah sebagai alat kampanye.
Selain bentuk ketaatan, qurban juga mengajarkan:
– Solidaritas sosial melalui berbagi kepada yang membutuhkan.
– Bersyukur atas rezeki dari Allah.
– Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail dalam ketaatan.
Kajian ini akan berlanjut selama tiga hari dengan pembahasan mendalam seputar tata cara penyembelihan, qurban kolektif, dan masalah kontemporer seperti qurban online.
“Qurban bukan sekadar tradisi, tapi ibadah yang harus sesuai syariat,” pungkas Buya Gusrizal.






