Ketum MUI Sumbar Buya Gusrizal Turun Langsung ke Lokasi Bencana, Sindir Keras Tangan-Tangan Jahil Perusak Lingkungan

  • Whatsapp
Ketum MUI Sumbar Buya Gusrizal turun salurkan bantuan uang tunai kepada korban banjir bandang batu Busuak (Foto: Dok. Istimewa)

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Dalam sebuah kajian yang penuh makna sekaligus menghentak, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, menyampaikan peringatan keras tentang eksploitasi alam yang tak terkendali. Pernyataan tegas ini disampaikan ketika beliau menyusuri langsung lokasi bencana banjir bandang di Batu Busuk dan Koto Tuo, menyaksikan dahsyatnya dampak kerusakan lingkungan yang kini menimpa masyarakat.

“Ni’mat kita berada di area yang subur, dengan alam yang indah. Ini tolong direnungkan,” ujar Buya Dr. Gusrizal dengan nada penuh keprihatinan. Beliau mengajak jamaah yang hadir di surau maupun masyarakat luas untuk mensyukuri anugerah Allah, namun dengan cara yang benar – bukan melalui eksploitasi yang merusak.

Dengan lugas, ulama senior ini mengkritik pola pikir serakah yang hanya mementingkan keuntungan sesaat. “Mentang-mentang pepohonannya ada yang ratusan tahun mendatangkan keuntungan kalau ditebang, jangan begitu cara berpikir. Sehingga yang terpikir merambahnya saja,” tegasnya.

Buya Gusrizal menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam, bukan hanya mengambil manfaatnya tanpa pertimbangan. Beliau mengutip firman Allah dalam Al-Quran: “Zahara al-fasadu fil barri wal-bahar” – kerusakan telah muncul di darat dan di laut karena perbuatan tangan-tangan manusia.

“Kerusakan ini memang disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Tangan-tangan manusia jahil yang tidak diawali dengan pertimbangan nalar yang sehat, dan tidak juga bertumpu kepada hati yang jernih,” ujarnya dengan tegas.

Dalam refleksi yang menyentuh, Buya Dr. Gusrizal Gazahar mengingatkan bahwa dampak kerusakan lingkungan tidak bisa hanya dihitung dari sisi material. “Nyawa yang melayang itu tidak bisa diganti. Kenapa? Karena dengan apa akan diganti? Bagaimana menilainya? Karena nyawa itu tidak ternilai. Nyawa itu tidak ternilai,” katanya dengan penuh emosi.

Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi para pelaku eksploitasi alam yang hanya mengejar keuntungan materi tanpa mempedulikan risiko bencana yang mengancam keselamatan jiwa masyarakat.

Saat turun langsung ke lokasi, Buya Gusrizal menyaksikan perubahan drastis kondisi geografis wilayah tersebut. Jalan yang dulunya tinggi, kini memiliki ketinggian yang sama dengan aliran Sungai Batu Busuk. Sedimentasi dan pendangkalan sungai akibat erosi dan material longsor telah mengubah wajah kawasan ini secara drastis.

“Ini qadarallah, namun ada sebab-sebabnya. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan normalisasi dengan biaya yang tidak sedikit sehingga alur sungai kembali seperti semula dan membendung kiri kanan sungai,” jelasnya.

Buya Gusrizal menyerukan agar pola eksploitasi alam yang merusak harus segera dihentikan. “Cara seperti ini sudah harus berhenti. Kalau tidak dengan peringatan seperti ini, nasihat, sudah harus dengan kekuatan dari pihak yang berwenang. Tidak ada pilihan lain,” tegasnya.

Beliau mengingatkan bahwa jika dibiarkan, siapa saja bisa merambah hutan dan alam seenaknya, dan dampaknya akan sangat merugikan. “Ini tidak tanggung-tanggung kerugian, kemudaratan yang akan menimpa,” tambahnya.

Dalam kunjungannya, Buya Gusrizal juga menyempatkan diri mengunjungi pengungsi korban banjir bandang Kelurahan Lambuang Bukik. Beliau menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap para korban sambil melakukan upaya normalisasi sungai secara serius.

Normalisasi yang dimaksud meliputi pengerukan sedimen, pembenahan alur sungai agar kembali dalam seperti semula, serta pembangunan tanggul pengaman di kiri kanan sungai. Upaya ini membutuhkan anggaran besar dan harus menjadi prioritas untuk mencegah bencana serupa terulang di masa depan.

Kajian Buya Gusrizal ini menjadi pengingat bahwa eksploitasi alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan akan berujung pada bencana. “Yang terpikir apa? Tuntutan syahwat ingin menghimpun kekayaan walaupun orang lain teranih-anih. Nah ini harus berhenti,” tegasnya menutup kajian.

Pesan beliau sangat jelas: mensyukuri nikmat alam bukan berarti mengeksploitasinya habis-habisan, melainkan menjaga keseimbangan dan kelestariannya untuk generasi mendatang. Sebab, ketika bencana datang, yang hilang bukan hanya harta benda, tetapi nyawa manusia yang tak ternilai harganya.

Related posts