Oleh: Dr. Derliana, MA, Mudir Pesantren KAUMAN Muhammadiyah Padang Panjang
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, saya langsung disambut oleh suasana sejuk dan semangat hidup yang membuncah. Bukan hanya udara khas pesantren yang menyegarkan, tetapi juga atmosfer spiritual dan keteguhan jiwa seorang perempuan yang telah lama saya dengar namanya dalam berbagai forum: Umi Waheedah.
Kehadiran kami saat itu bukan sekadar studi banding. Kami datang dengan rasa ingin tahu yang besar: bagaimana sebuah pesantren mampu bertahan dan berkembang dengan menyediakan pendidikan 100 persen gratis bagi lebih dari 15.000 santri? Apa rahasia di balik keberhasilan lembaga ini? Dan bagaimana seorang perempuan—yang bukan berlatar pendidikan agama secara formal—mampu memimpin kompleks sebesar ini?
Melampaui Batas Tradisi
Umi Waheedah adalah sosok yang tidak lumrah dalam peta kepemimpinan pesantren di Indonesia. Lahir di Singapura dari keluarga campuran Melayu-Indonesia, ia menyelesaikan pendidikan Psikologi di Universitas Indonesia dan melanjutkan ke London School of Public Relations. Ia bukan ustazah, bukan pula lulusan fakultas syariah. Namun hari ini, ia menjadi ibu dari ribuan santri dan pemimpin dari lebih dari 70 unit usaha pesantren.
Setelah wafatnya Habib Saggaf bin Mahdi, pendiri Nurul Iman, pada 2010, Umi melanjutkan estafet perjuangan. Dari 24 unit usaha yang diwariskan sang suami, kini berkembang pesat menjadi lebih dari 70. Sebuah capaian luar biasa, yang tak sekadar berbicara tentang manajemen, tetapi tentang niat, pengorbanan, dan cinta yang tak pernah surut.
“Awalnya saya tidak siap,” katanya. “Saya bukan ahli agama. Tapi ini amanah. Dan saya harus jalankan.”
Kata-kata itu menggetarkan. Ia tidak memimpin dengan ambisi, tapi dengan ketulusan. Di balik kalimat sederhana itu tersembunyi malam-malam penuh doa, tangis dalam diam, dan keteguhan hati untuk terus melangkah.
Pesantren Nurul Iman bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi ekosistem pemberdayaan. Tidak ada pungutan. Tidak ada proposal ke sana ke mari. Seluruh biaya pendidikan, makan, tempat tinggal, dan pengobatan ditanggung pesantren. Kuncinya adalah kemandirian ekonomi berbasis koperasi dan social entrepreneurship yang digerakkan oleh santri dan alumni.
Dari pabrik roti hingga peternakan, dari percetakan hingga pengolahan sampah, semua dikelola secara produktif. Tidak ada utang. Tidak ada sponsor asing. Hanya niat, kerja keras, dan kesadaran bahwa pesantren bukanlah ladang untuk meminta-minta, melainkan ladang untuk menanam dan menuai bersama.
Ketika saya bertanya, “Mengapa harus gratis?” Umi menjawab tegas, “Karena santri pertama kami adalah anak-anak Aceh dan Timor Timur yang tidak punya apa-apa. Masa mereka harus bayar untuk belajar?”
Jawaban itu menampar nalar pragmatis kita hari ini. Ia menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah komoditas, melainkan amanah sosial. Bahwa membangun pesantren tidak harus bergantung pada proposal dan jaringan kekuasaan, tapi bisa dimulai dari cinta dan niat yang bersih.
Ada satu momen yang tak akan saya lupakan. Ketika kami berpamitan, Umi menggenggam tangan saya dan berkata dengan lembut, “Umi Doktor, semangat ya sayang. Kita perempuan ini pastilah orang yang kuat. Aku tahu kamu banyak mengalami masalah dalam pimpin pesantren Kauman ini. Tapi saya akan bantu.”
Kata-kata itu tidak hanya menenangkan, tapi menghidupkan. Di tengah tantangan yang kadang membuat saya ingin menyerah, saya melihat sosok perempuan yang pernah memikul beban lebih berat, tapi tetap berdiri tegak. Ia bukan hanya pemimpin administratif, tapi pemimpin spiritual. Seorang ibu, guru, dan manajer dalam satu tubuh.
Dalam dunia yang masih sering meragukan kepemimpinan perempuan, Umi Waheedah hadir sebagai bukti nyata: bahwa perempuan bisa menjadi penggerak perubahan, bahkan dalam lanskap tradisional seperti pesantren. Kepemimpinannya membuktikan bahwa manajemen berbasis kasih sayang, jika digerakkan dengan keteguhan hati, mampu menciptakan keajaiban sosial.
Pesantren Nurul Iman mengajarkan kita bahwa Islam bukanlah agama ketergantungan, melainkan agama pemberdayaan. Pendidikan gratis bukan berarti murah, tetapi hasil dari keberkahan. Kemandirian ekonomi bukan sekadar strategi, tapi bentuk menjaga marwah dan otonomi umat.
Dalam dunia pendidikan Islam hari ini, kita terlalu sering terpaku pada teori, konsep, dan jargon. Padahal, yang dibutuhkan adalah teladan konkret. Model seperti Nurul Iman penting untuk direplikasi: pesantren yang menghidupi dirinya sendiri, mendidik tanpa pamrih, dan menumbuhkan karakter melalui kerja keras.
Refleksi bagi Para Pemimpin Perempuan
Saya pulang dari Parung dengan lebih dari sekadar catatan manajerial. Saya pulang dengan tekad baru sebagai perempuan pemimpin pesantren. Saya belajar bahwa sesungguhnya, yang sering kali kita hadapi bukan kekurangan dana—melainkan kekurangan daya: daya berpikir, daya mencipta, daya mencinta, dan daya bertahan.
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berfirman:
“Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka itulah yang akan ia dapatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Saya percaya, prasangka baik dan niat tulus itulah yang menghidupkan Nurul Iman hingga hari ini. Dan saya percaya, cinta Umi Waheedah kepada Allah, kepada suaminya, dan kepada anak-anak bangsanya, adalah sumber kekuatan yang menggerakkan seluruh ekosistem ini.
Bagi siapa pun yang sedang lelah memimpin lembaga, ragu meneruskan perjuangan, atau merasa sendiri dalam jalan sunyi pendidikan—ingatlah, kita perempuan ini pasti kuat. Karena kita memimpin bukan dengan ambisi, tapi dengan cinta. Dan cinta, seperti kata Jalaluddin Rumi, akan menemukan jalannya sendiri.




