Oleh: BUYA SHOFWAN KARIM ELHUSSEIN
Menghitung hari. Mereka S(67), BS (52), P (51), dan T (44) menatap wajah saya. Sejak 25 Februari lalu, dua bulan kurang 6 hari, pada 19 April kemarin, beliau-beliau bergeming.
Di sela tatapan itu , mata saya menjelajahi tenda. Dari keempat sudutnya, sekitar dua ratusan laki, perempuan dan anak-anak mulai membuka bungkus nasi.
Tenda induk itu multi fungsi. Musalla, tempat berkumpul dan sekaligus pos layanan terpadu. Terletak di punggung bukit, sekitar 1 km dari Jorong Timbo Abu Ateh, Nagari Persiapan Timbo Abu, Kenagarian Induk Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat.
Pada masa tanggap darurat, dari 25 Februari sampai 15 Maret lalu, Jorong Timbo Abu Ateh sangat parah. Meski juga ada di Pasaman, Nagari Malampah juga parah.
Akan tetapi sepanjang pengamatan langsung dan sumber media, Timbo Abu agak sepesipik. Selain PMI, Dompet Dhua’fa, ACT, PKPU, banyak LSM, Ormas dan Lembaga, bahkan Partai Politik dan Tokoh Nasional, Perguruan Tinggi dan lainnya yang memberikan perhatian. Mengunjungi dan membantu kebutuhan pokok, pertolongan medis dan kebutuhan harian Wanita dan anak-anak.
Salah satu di antaranya LSM AMCF (Asian Muslim Charity Foundatian) Reliefs Humanitarian Center, Medan. Mereka telah bangun seratus tenda. Tak heran kalau seorang tokoh menyebut bagai tenda di Padang Arafah musim haji. Waktu itu ratusan penyintas musibah gempa tumpah ke punggung bukit itu. Mereka mukim di seratusan tenda tadi.
Mereka tidak berani pulang ke Jorongnya. Takut gempa susulan terjadi lagi. Dan memang waktu itu berkali-kali terjadi gempa susulan.
Dalam dua bulan terakhir, tak banyak lagi LSM dan Ormas yang tetap mendampingi mereka. Salah satu yang tetap berlanjut adalah MDMC (Manajemen Penanggulangan Bencana Muhammadiyah).
Sampai kemarin lalu puluhan tenda masih teriisi. Mereka adalah 48 keluarga terdiri atas 239 jiwa.
Dengan merekalah Selasa lalu MDMC berkumpul untuk ke sekian kalinya. Hadir seorang tokoh nasional dari Pasaman Barat, Pendiri dan Pembina STIKES YPAK bersama PWM, LDK, KKM, Lazismu Muhamadiyah. Mereka berbuka bersama, salat berjamaah dan pengajian Ramadan.
Nasi putih, sepotong ayam goreng, sejemput gulai kacang-lobak dan sebungkus kecil sayur anyang, dengan lahap kami lahap.
Hujan lebat tinggal rintik-rintik. Sehabis Salat Magrib berjamaah, santapan mini ini, merupakan ujung berbuka bersama (bukber) dengan air, kue kering, roti dan pisang pada
senja, awal malam itu.
Tentu saja pengantar kata dan sambutan menjelang ceramah, Wali Nagari Calon Kenagarian ini melaporkan perkembangan.
Mengapa mereka masih bertahan di situ. Rupanya rumah mereka di Jorong tempat mukim sebelum gempa memang tinggal puing reruntuhan. Hanya tidak hangus saperti reruntuhan akibat bom di Ukraina.
Ada kabar akan dibangun Huntara yang ukurannya sangat mini. Mereka gembira mendengar itu. Yang penting jangan lagi di tenda. Mereka rindu Jorong Timbo Abu Ateh.
Dari Jorong ini menoleh arah Timur kelihatan Gunung Talamau yang indah. Menurut Christine Dobbin (1983), Gunung ini mengandung deposit emas terbesar di Sumatra, era 1784-1847.
Mengapa Huntara itu belum tegak. Kata Wali Nagari malam itu ,”masih negosiasi”. Semula biaya untuk bangunan sangat mini itu 6,9 juta. Belakangan turun menjadi 4 juta rupiah.
Maka ketika memberikan sambutan, Ketua PWM mengatakan mungkin dana yang terbatas. Sementara banyak yang akan dibangun. Anggaplah itu bantuan dan bila ingin lebih, itu swadaya masing-masing keluarga. Atau ada pihak lain yang mencukupkan.
Di dalam konsep dan teori International Community Development, Ormas, LSM dan pihak ke-tiga lain memberikan dorongan kepada komunitas untuk berdaya. Kecuali pemerintah, wajib membangun infra struktur, jalan,listrik, fasilitas umum dan kepentingan publik lainnya yang mendasar.
Pada hakikatnya setiap komunitas membangun dirinya. Bila ada bantuan pihak kedua atau ketiga, lebih kepada memberikan pancing bukan ikan.
Namun harus dipahami pula. Menurut 4 tokoh awal pragraf ini di atas, mereka di Timbo Abu Ateh memang berada di titik nadir paling bawah akibat gempa ini. Sekitar 50 hektar sawah dan kebun palawija, jagung dan sayuran habis tertimbun tanah longsor gempa.
Irigasi kepala bandar, hancur. Padi dan jagung yang masak di batang dan yang panen tak selamat. Bahkan yang di dalam karungpun habis. Ternak, habis.
Ketika ditanya bagaimana Kebun Sawit?. Mereka seakan serempak mengatakan bahwa mereka tidak berkebun itu. Dalam hati ini, terpurangah. Rupanya tak ada hembusan apalagi sentuhan booming harga sawit melangit sekarang ke mereka di sini. Taka ada hubunghan dengan minyak goreng.
Sementara Huntara yang sedang mendesak dibutuhkan adalah 156 unit. Dan hati ini tambah terpurangah ketika mereka masih tetap mempersiapkan MTQ Nagari Persiapan. Dana diperlukan 16 juta rupiah. Baru tersedia 8 juta rupiah.
Subhanallah, rasa budaya keberagamaan mereka tetap permanen. Dan Ustzad yang kami bawa dari Padang mengutip QS Al-a’Raf (8) 96-99. Mereka didorong terus untuk semakin tebal imannya. Dan gempa kemarin dengan puasa Ramadan sekarang niscaya menjadi motivasi paling dalam untuk memperkokoh ketakwaan kepada-Nya. Tegar dan tegakkan kepala. Allahu a’Lam. **
/* Penulis adalah Dosen PPs UM Sumbar, Ketua PW Muhammadiyah Sumbar dan Ketua Umum YPKM