Kopi Kawa Daun, Buah dari Sistem Tanam Paksa Belanda di Minangkabau

  • Whatsapp
Kopi Kawa Daun
Kopi Kawa Daun (Foto: saribundo.biz)

Oleh: Irfan Rusli

Kopi merupakan salah satu minuman yang dewasa ini banyak digemari oleh para anak muda hingga dewasa. Minuman yang tak lekang oleh zaman ini seolah menjadi teman bincang dan diskusi yang pas di setiap momennya.

Read More

Selain dari pada itu kopi sendiri juga memiliki nilai-nilai lebih dalam masyarakat dan filosofinya sendiri bagi para penikmat kopi tak hanya itu minuman kopi ini juga memiliki keunikan Mulai dari bahan, pengolahan pasca panen, roasting, hingga penyeduhannya menjadi sebuah minuman untuk dinikmati.

Keseluruhannya itu berkutat pada biji yang dihasilkan oleh pohon kopi tersebut dan tak hanya itu biji kopi juga memiliki nilai jual yang sangat baik di pasaran sebut saja kopi Gayo, kopi Arabika dan lain sebagainya.

Salah satu daerah di Indonesia tentunya juga memiliki keunikannya sendiri, yaitu Ranah Minang (Sumatera Barat) yang memiliki keunikannya sendiri dalam pengolahan kopi.

Jika biasanya yang dimanfaatkan sebagai minuman adalah biji dari kopi maka tidak dengan yang ada di Sumatera Barat yang menggunakan daun dari tumbuhan kopi sebagai minuman atau yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau dengan nama Kopi Kawa/Kawa Daun/Aia Daun Kawa.

Kawa daun sendiri merupakan olahan yang terbuat dari daun kopi yang disanggrai kemudian direbus lama sehingga ekstrak dari daun tersebut keluar.

Dalam penyajiannya pun cukup terbilang unik karena menggunakan batok kelapa sebagai gelasnya serta biasanya masyarakat juga meminumnya dengan gula aren untuk menghilangkan pahit dari daun kopi tersebut.

Kebiasaan meminum air dari rebusan daun kopi dilakukan oleh masyarakat Minangkabau saat itu dikarenakan susahnya untuk mendapatkan biji kopi dikarenakan adanya kebijakan sistem tanam paksa kala itu yang mewajibkan masyarakat menjual hasil buminya berupa biji kopi untuk dijual bahkan dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Keberadaan kawa daun ini memantik ingatan kita bersama bagaimana sejarah dan asal muasal kawa daun ini yang ternyata tak lepas dari sistem tanam paksa atau cuultur stelsel yang diterapkan oleh kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia kala itu masih bernama Hindia Belanda.

Menurut sejarawan Mestika Zed dalam jurnal Dilemma Ekonomi Melayu; Dari Melayu Kopi Daun Hingga Kapitalisme Global menjelaskan bahwa budidaya tanaman kopi sudah lebih dahulu dilakukan masyarakat Minangkabau. Hal ini tak lepas dari strategisnya letak pelabuhan yang menjadi tempat bertemunya para pedagang Nusantara dan internasional kala itu dan salah satu dampaknya adalah dimulainya budidaya kopi yang kala itu menjadi komoditas utama di negara barat.

Dimulainya sistem tanam paksa kopi

Untuk menutupi kas beberapa daerah jajahan yang mulai menipis kala itu gubernur jenderal Hindia Belanda yang memimpin saat itu Van Den Bosch kemudian mulai mencetuskan ide untuk melakukan tanam paksa, salah satunya kopi.

Di Minangkabau sistem tanam paksa kopi mulai diberlakukan sejak sekitar tahun 1834, pemerintah Hindia Belanda Memulai usahanya untuk mendapatkan kopi Minangkabau dengan menggunakan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan konsep ‘harga terlindung’. Karena wilayah Minangkabau belum ditaklukkan seutuhnya, usaha ini gagal pada tahun 1839 (Christine Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847). Sistem ini baru efektif berjalan pada tahun 1847 pasca perang Padri.

Jauh sebelum diberlakukannya sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda sendiri masyarakat Minangkabau sebenarnya sudah melakukan kegiatan penanaman kopi namun bedanya penanaman dilakukan di area hutan tanpa mengubah hutan tersebut menjadi kebun kopi sepenuhnya seperti halnya yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.

Yang karena potensi alam dan didukung letak yang strategis inilah maka pemerintah kolonial ketika itu melihat peluang khususnya kawasan Sumatera Barat kala itu untuk turut menerapkan sistem tanam paksa dengan komoditas utamanya adalah kopi.

Pada akhirnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika itu melahirkan suatu khasanah baru dalam kekayaan kebudayaan masyarakat Minangkabau hingga saat ini yaitunya dengan adanya minuman yang kita kenal dengan Kawa Daun.

Berakhirnya sistem tanam paksa kopi di Minangkabau

Sistem budidaya tanaman atau yang lebih kita kenal dengan sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan dari Ranah Minang pada tahun 1908 (Mestika Zed).

Dari pergulatan sistem ini, kita mengenal istilah seperti yang dituliskan sejarawan Mestika Zed dalam tesisnya, Melayu Kopi Daun. Maksud dari istilah ini merupakan bentuk umpatan dan kekesalan pemangku kepentingan sistem tanam paksa ini. Sebuah ungkapan yang memandang sebelah mata kepada masyarakat Minang yang lebih memilih menikmati daun kopi dari pada bijinya, yang mana di Eropa merupakan komoditas berharga.

Pasca dihapuskannya sistem budidaya kopi ini, dijelaskan oleh Dobbin, masyarakat kembali menanam tanaman mereka sendiri berupa: tembakau, tebu , kelapa, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat juga kembali menanam pohon Akasia yang juga memiliki pasar yang bagus di Eropa.

Hindia-Belanda secara umum dan Ranah Minang khususnya, memasuki periode perekonomian yang baru. Ekonomi liberal, di mana pemodal swasta menjadi pemain dalam menggerakkan roda perekonomian.

Pada akhirnya keberadaan Kawa daun sebagai olahan tumbuhan kopi, merupakan jejak masa lalu agresifitas sistem tanam paksa yang gagal di Ranah Minang.

Dengan lestarinya olahan minuman dari daun kopi ini, kita juga bisa memahami kondisi sosial masyarakat beserta perjalanan dinamika masyarakat Minangkabau.
Kawa daun juga menjadi khasanah olahan kopi yang unik dan memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan. (*)

/* Penulis adalah Mahasiswa aktif Ilmu Sejarah Universitas Andalas.

Related posts