MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menghentikan sementara Program Pendidikan Karakter Pancawaluya Jawa Barat Istimewa. Program yang mengirim siswa dengan perilaku menyimpang ke barak militer dinilai melanggar prinsip perlindungan anak dan belum memenuhi standar pelaksanaan yang layak.
Desakan tersebut disampaikan Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, dalam konferensi pers daring pada Jumat (16/5). Ia menegaskan bahwa program ini perlu dievaluasi secara menyeluruh sebelum dilanjutkan ke tahap berikutnya.
“Program cukup dilakukan untuk satu tahap terlebih dahulu, dan sebelum dilanjutkan ke tahap berikutnya perlu ada evaluasi menyeluruh,” ujar Jasra.
Evaluasi ini merupakan hasil pemantauan langsung KPAI di dua lokasi pelatihan, yakni Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi di Cikole, Bandung Barat.
Berikut 12 Temuan Utama KPAI:
1. Belum patuh terhadap regulasi perlindungan anak, seperti UU No. 35 Tahun 2014 dan PP No. 78 Tahun 2021, menyebabkan stigma dan minim partisipasi anak.
2. Tidak adanya standar pelaksanaan baku, termasuk panduan teknis, juknis, dan SOP antar lokasi pelatihan.
3. Struktur program dinilai positif, mencakup unsur bela negara, kedisiplinan, dan nilai kebangsaan.
4. Peserta hanya dari siswa aktif Dapodik, belum menyasar anak dengan kerentanan sosial lainnya.
5. Motif keikutsertaan mayoritas karena bolos atau merokok, tapi 6,7% siswa mengaku tidak tahu alasan mereka ikut.
6. Tidak ada asesmen psikologis profesional, hanya rekomendasi guru BK. Bahkan, ada siswa yang diancam tidak naik kelas jika menolak.
7. Penyimpangan perilaku dipicu pola asuh lemah, seperti perceraian atau ketiadaan figur ayah.
8. Kurangnya tenaga psikolog dan pekerja sosial, menyebabkan layanan konseling tak optimal.
9. Perlindungan anak tidak maksimal akibat keterbatasan SDM dan anggaran.
10. Sebagian pembina belum paham protokol perlindungan anak (Child Safeguarding).
11. Tidak tersedia tenaga medis dan ahli gizi tetap di lokasi pelatihan.
12. Minimnya keterlibatan OPD tingkat provinsi dalam pengawasan program.
Program ini sebelumnya viral karena menampilkan momen haru siswa yang menangis dan bersujud kepada orang tua usai pelatihan. Namun, KPAI menilai ada kejanggalan yang tidak boleh diabaikan.
“Pembinaan karakter harus dilakukan dengan pendekatan ramah anak, bukan dengan cara yang dapat melanggar hak-hak mereka,” tegas Jasra.
KPAI berharap evaluasi ini dijadikan dasar perbaikan menyeluruh agar pelaksanaan program tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak yang telah diatur dalam hukum nasional dan internasional.