MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Bayangkan jika setiap hari, lahan seluas 140 lapangan sepak bola menghilang dari muka bumi. Itulah realitas yang terjadi di hutan-hutan Sumatera. Dalam tiga dekade terakhir, pulau yang dikenal sebagai paru-paru Indonesia ini kehilangan 1,2 juta hektare hutannya—sebuah tragedi lingkungan yang dampaknya kini mulai kita rasakan melalui banjir bandang dan tanah longsor yang semakin sering merenggut nyawa.
Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terhadap kondisi hutan di tiga provinsi Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam analisisnya yang komprehensif, beliau mengungkap fakta mengejutkan tentang laju deforestasi yang mencapai 99,46 hektare per hari—angka yang seharusnya membuat kita semua terbangun dari tidur panjang ketidakpedulian.
Angka-Angka yang Mencengangkan di Balik Kerusakan Hutan
Periode 1990 hingga 2024 mencatat sejarah kelam bagi hutan Sumatera. Data menunjukkan bahwa rata-rata 36.305 hektare hutan hilang setiap tahunnya. Bukan angka yang kecil, bukan pula angka yang bisa kita abaikan. Di balik statistik dingin ini, tersimpan kisah tentang ekosistem yang hancur, satwa yang kehilangan habitat, dan masyarakat yang terancam bencana.
Yang lebih memprihatinkan, alih fungsi lahan terjadi secara masif dan terstruktur. Sekitar 690.777 hektare hutan—area yang hampir seluas provinsi Bali—telah berubah menjadi perkebunan sawit. Tambang menelan 2.160 hektare, sementara ekspansi perkotaan menggerus 9.666 hektare kawasan hutan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah bukti nyata dari prioritas pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Dari Hutan Hijau ke Bencana: Mata Rantai yang Tak Terputus
Hubungan antara deforestasi dan bencana alam bukanlah teori konspirasi atau kebetulan semata. Ketika hutan ditebang, tanah kehilangan penutup alaminya yang berfungsi menyerap air hujan. Akar-akar pohon yang seharusnya mengikat tanah tidak lagi ada. Hasilnya? Air hujan mengalir deras tanpa hambatan, menggerus tanah, dan akhirnya menerjang pemukiman dalam bentuk banjir bandang.
Kasus-kasus banjir dan longsor yang belakangan ini melanda Sumatera adalah alarm keras dari alam. Bumi sedang berteriak, memperingatkan kita bahwa eksploitasi tanpa batas akan berujung pada malapetaka. Namun pertanyaannya: apakah kita mendengarkan?
## **Akar Masalah: Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum**
Advokat Ki Jal Atri Tanjung dengan tegas mengidentifikasi salah satu masalah fundamental: lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Aktivitas ilegal di hutan seperti penebangan liar dan perambahan hutan terus terjadi, seringkali dengan impunitas yang mengkhawatirkan.
Regulasi memang ada, bahkan cukup lengkap. Namun, apa gunanya aturan jika tidak ditegakkan? Apa artinya undang-undang jika pelanggarnya dibiarkan bebas berkeliaran? Di sinilah letak ironi besar sistem kita: kita pandai membuat aturan, tetapi gagal dalam implementasinya.
Banyak masyarakat di sekitar hutan yang bergantung pada hasil hutan sebagai sumber mata pencaharian. Penebangan kayu—baik legal maupun ilegal—menjadi pilihan karena keterbatasan alternatif ekonomi. Tekanan ekonomi ini menciptakan lingkaran setan: kemiskinan mendorong eksploitasi hutan, eksploitasi hutan memperparah kerusakan lingkungan, dan kerusakan lingkungan pada akhirnya menimbulkan bencana yang memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Jalan Keluar: Strategi Komprehensif Penyelamatan Hutan
Ki Jal Atri Tanjung tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi konkret yang perlu segera diimplementasikan. Pendekatan multi-stakeholder yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta menjadi kunci utama.
Pertama, penguatan pengawasan dan penegakan hukum. Ini bukan sekadar menambah jumlah petugas lapangan, tetapi juga meningkatkan kapasitas lembaga penegak hukum dalam mendeteksi dan menindak pelanggaran. Transparansi dalam penegakan hukum harus dijamin, dan hukum harus ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu—baik pelakunya pengusaha besar maupun masyarakat kecil.
Kedua, rehabilitasi hutan yang telah rusak. Program reboisasi dan restorasi ekosistem harus dilakukan secara masif dan terencana. Hutan yang telah gundul perlu dikembalikan fungsi ekologisnya, tidak hanya untuk mencegah bencana tetapi juga untuk memulihkan keanekaragaman hayati yang telah hilang.
Ketiga, penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep sustainable forest management bukan lagi opsi, melainkan keharusan. Masyarakat lokal harus dilibatkan aktif dalam pengelolaan hutan, karena merekalah yang paling memahami kondisi lokal dan memiliki kepentingan jangka panjang terhadap kelestarian hutan.
Mengubah Mindset: Dari Eksploitasi ke Konservasi
Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir masyarakat tentang hutan. Selama ini, hutan dipandang sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi untuk kesejahteraan ekonomi jangka pendek. Paradigma ini harus bergeser: hutan adalah aset ekologis yang nilai ekonominya justru lebih besar jika dijaga kelestariannya.
Pendidikan dan penyuluhan menjadi instrumen penting dalam transformasi mindset ini. Masyarakat perlu memahami bahwa melestarikan hutan bukan berarti menghambat pembangunan ekonomi. Sebaliknya, hutan yang lestari justru menjamin keberlangsungan ekonomi jangka panjang melalui berbagai jasa ekosistem yang diberikannya.
Ekonomi Alternatif: Hijau dan Berkelanjutan
Ki Jal Atri Tanjung menekankan pentingnya pengembangan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan. Ekowisata, misalnya, menawarkan potensi ekonomi yang tidak kalah menjanjikan dibandingkan dengan penebangan kayu. Pengunjung dari berbagai penjuru dunia bersedia membayar mahal untuk menikmati keindahan hutan tropis yang masih alami.
Pertanian hutan atau agroforestry juga menjadi solusi cerdas yang menggabungkan produktivitas ekonomi dengan konservasi lingkungan. Masyarakat dapat menanam tanaman pertanian di antara pepohonan hutan, sehingga tetap mendapatkan pendapatan tanpa merusak tutupan hutan.
Pengolahan hasil hutan non-kayu seperti madu hutan, rotan, karet, dan berbagai tanaman obat juga membuka peluang ekonomi yang berkelanjutan. Produk-produk ini memiliki nilai jual tinggi di pasar global, terutama jika dikemas dengan baik dan disertifikasi sebagai produk ramah lingkungan.
Kerja Sama: Kunci Suksesnya Konservasi
Tidak ada pihak yang bisa bekerja sendiri dalam menyelamatkan hutan Sumatera. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai. Pemerintah daerah harus konsisten dalam menegakkan peraturan daerah terkait konservasi hutan. Masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dapat berperan sebagai watchdog sekaligus mitra dalam program konservasi.
Sektor swasta, khususnya perusahaan-perusahaan yang operasionalnya bergantung pada sumber daya alam, harus menerapkan prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) yang tidak sekadar ceremonial. Mereka memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk memastikan bahwa operasi bisnis mereka tidak merusak lingkungan.
Transparansi dan Partisipasi Publik
Salah satu aspek krusial yang disorot oleh Ki Jal Atri Tanjung adalah transparansi. Masyarakat berhak mengetahui informasi tentang perizinan konsesi hutan, rencana tata ruang wilayah, dan tindakan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Dengan transparansi, masyarakat dapat melakukan pengawasan sosial yang efektif.
Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan tidak bisa diabaikan. Mereka adalah mata dan telinga di lapangan yang dapat mendeteksi aktivitas ilegal jauh lebih cepat dibandingkan aparat resmi. Sistem pelaporan yang mudah dan perlindungan terhadap whistle blower perlu diwujudkan untuk mendorong partisipasi publik ini.
Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau
Pesan penutup dari Advokat Ki Jal Atri Tanjung mengandung harapan: semua upaya penyelamatan hutan ini dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Namun, harapan tanpa aksi nyata hanyalah angan-angan belaka. Kita semua—pemerintah, masyarakat, akademisi, aktivis, dan pelaku usaha—memiliki tanggung jawab untuk mengambil peran dalam menyelamatkan hutan Sumatera.
Krisis deforestasi di Sumatera adalah cermin dari tantangan lingkungan global yang kita hadapi. Jika kita gagal mengatasi masalah ini di tingkat lokal, bagaimana kita bisa berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim global? Hutan Sumatera bukan hanya milik masyarakat Sumatera, tetapi aset nasional bahkan global yang harus kita jaga bersama.
Waktu terus berjalan, dan setiap hari 99,46 hektare hutan kita hilang. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu menghentikan deforestasi, tetapi apakah kita memiliki political will dan komitmen kolektif untuk melakukannya. Masa depan hutan Sumatera—dan dengan demikian masa depan generasi mendatang—ada di tangan kita saat ini.
Mari kita wujudkan Sumatera yang hijau, lestari, dan berkelanjutan. Bukan untuk hari ini saja, tetapi untuk anak cucu kita yang berhak menikmati keindahan dan manfaat hutan yang sama seperti yang pernah kita nikmati. Salam lestari!
Tentang Penulis:
Advokat Ki Jal Atri Tanjung adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat yang aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan penegakan hukum di Sumatera.






