MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Di sebuah sore yang lengang di Padang, Ade Herdiwansyah menatap jalan yang ramai dari balik jendela. Di wajahnya, tergambar campuran keyakinan dan keraguan, sesuatu yang kerap hadir ketika seseorang memutuskan menempuh jalan panjang yang penuh ujian. Hari itu, ia resmi mengumumkan satu langkah penting: memantapkan perjuangan politiknya melalui Partai Amanat Nasional (PAN).
Bagi sebagian orang, keputusan itu mungkin tampak sederhana—sekadar peralihan dari aktivisme ke politik praktis. Namun, bagi Ade, politik bukanlah sekadar ruang berebut kursi, melainkan arena pertaruhan ide dan cita-cita. Sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat, ia telah lama bersinggungan dengan gagasan pembaruan, kerja sosial, dan semangat pengabdian. Jalan politik hanya memperlebar panggung, bukan menggeser orientasi.
Di Sumatera Barat, politik adalah percampuran antara sejarah dan harapan. Dari jejak para tokoh pergerakan, hingga tradisi debat warung kopi yang tak pernah surut, masyarakatnya tumbuh dalam budaya diskusi dan perlawanan. Ade, dengan latar belakang aktivis muda Muhammadiyah, seolah mewarisi tradisi itu: keras terhadap gagasan, tetapi hangat dalam pergaulan.
Langkahnya masuk PAN tidak terlepas dari keyakinan akan pentingnya rumah politik yang memberi ruang bagi generasi baru. Ia sering menyebut, politik harus menyediakan jalan masuk bagi anak-anak muda yang gelisah terhadap masa depan bangsa. “Kita tidak bisa hanya menjadi penonton,” ujarnya suatu kali dalam diskusi kecil di sebuah kafe di Padang Panjang. “Kalau kita hanya menunggu, panggung akan tetap dikuasai wajah lama. Kita perlu berani masuk, meski jalan itu penuh risiko.”
Seperti banyak aktivis lain, Ade tahu betul risiko itu: idealisme bisa terkikis, loyalitas bisa dipertanyakan, dan setiap langkah akan selalu diawasi. Namun, ia memilih menanggungnya. Dalam dunia yang kerap menertawakan mimpi besar, ia masih percaya bahwa politik bisa menjadi alat memperbaiki, bukan sekadar menguasai.
PAN, dengan segala dinamika dan sejarahnya, menjadi pilihan. Ia melihat partai itu sebagai ruang kompromi antara ide besar reformasi dan kebutuhan praktis kekuasaan. Di Sumatera Barat, partai ini memang punya akar kuat—mewarisi semangat religius dan nasionalis yang akrab bagi masyarakat Minang. Bagi Ade, itu bukan hanya soal kendaraan, tetapi juga soal resonansi nilai.
Namun, perjalanan ini bukanlah tentang satu orang. Setiap keputusan politik selalu tentang bagaimana ia dilihat orang lain. Kawan-kawannya di Pemuda Muhammadiyah menaruh harapan besar, tetapi juga kecemasan: apakah Ade bisa tetap tegak di tengah pusaran tarik-menarik kepentingan? Apakah ia bisa menjaga bahasa keadilan di ruang yang sering dipenuhi bahasa kompromi?
Seorang senior pernah menasihatinya: politik itu bukan sekadar tentang benar atau salah, melainkan tentang keberanian menegosiasikan nilai tanpa kehilangan jiwa. Ade mengangguk waktu itu, meski ia tahu, kata-kata bijak hanya akan diuji dalam praktik.
Di luar hiruk pikuk politik, Ade tetaplah sosok yang sederhana. Ia sering duduk bersama anak-anak muda, berdiskusi tentang buku, sejarah, atau sekadar berbincang tentang kegelisahan sehari-hari. Dari sana, tampak jelas bahwa langkah politiknya bukan sekadar ambisi pribadi, tetapi juga cerminan dari sebuah kegelisahan kolektif: bagaimana memastikan bahwa suara muda tidak hanya terdengar, tetapi juga punya tempat di meja pengambil keputusan.
Ketika malam turun di Padang, kota kembali sibuk dengan lampu jalan dan suara motor. Di ruang kerjanya yang sederhana, Ade kembali menuliskan beberapa catatan di buku kecilnya. Di sana, ia menulis tentang harapan, strategi, dan doa. Jalan politik yang dipilihnya mungkin akan panjang, penuh simpangan, tetapi ia percaya setiap langkah akan menemukan makna.
Pada akhirnya, politik bagi Ade bukan sekadar tentang kursi dan jabatan. Ia melihatnya seperti jalan sunyi seorang peziarah: penuh godaan, tetapi juga penuh kemungkinan. Dan di jalan itu, ia memilih melangkah—mantap, meski belum tentu mulus.






