Oleh : Wakil Ketua PWM Sumbar Buya Ki Jal Atri Tanjung
TUJUH bulan pertama tahun ini, Pasaman Barat mencatat 55 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Angkanya bikin miris: 26 kasus kekerasan seksual, 14 penganiayaan fisik, 8 kekerasan psikis, 3 penelantaran, 1 pelanggaran UU ITE, dan 1 kasus anak berhadapan dengan hukum. Padahal sepanjang tahun lalu jumlahnya “hanya” 88 kasus. Artinya, baru setengah jalan, kita sudah melewati separuh. Jika tren ini tak berubah, 2025 bisa tercatat sebagai tahun paling kelam.
Yang membuat hati lebih perih, hampir separuh kasus itu berupa kekerasan seksual. Lebih pahit lagi, pelakunya bukan orang asing. Banyak yang justru ayah kandung, ayah tiri, teman dekat, atau tetangga. Orang-orang yang seharusnya melindungi, malah menjadi sumber luka. Itulah tantangan terbesar dalam penanganan kasus semacam ini: korban sulit melapor karena pelaku bagian dari lingkar terdekat mereka. Ada rasa takut, rasa malu, hingga tekanan keluarga atau lingkungan. Tak jarang mereka diminta diam demi “nama baik”, padahal diam hanya menambah luka dan membuka peluang kekerasan terulang.
Prihatin atas kondisi ini, Ki Jal Atri Tanjung, putra Pasaman Barat yang kini berdomisili di Padang, mengingatkan pentingnya meninjau ulang peran nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) mestinya menjadi benteng, tapi justru tampak ompong. Nilai agama, adat, kebangsaan, hingga nilai kemasyarakatan perlahan terkikis, atau sekadar berhenti sebagai jargon. Tungku tigo sajarangan—ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai—seolah kehilangan taring. Pemuda dan aparat penegak hukum pun belum maksimal menjalankan fungsinya.
Pertanyaannya, apakah kita sedang menyaksikan retaknya sendi-sendi sosial yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau? Apakah ABS-SBK hanya menjadi hiasan pidato dan spanduk acara adat, sementara di rumah-rumah rakyat, anak-anak justru kehilangan rasa aman?
Momentum 80 tahun Indonesia merdeka seharusnya dijadikan waktu refleksi. Jangan sampai kemerdekaan yang kita rayakan hanya berhenti pada upacara, sementara warganya, terutama anak dan perempuan, terjerat dalam rantai kekerasan. Dibutuhkan langkah strategis: penguatan lembaga perlindungan, keberanian aparat menindak tanpa pandang bulu, pemberdayaan pemuda, hingga menghidupkan kembali peran adat dan agama dalam fungsi sosialnya, bukan hanya dalam retorika.
Kekerasan yang merajalela bukan sekadar soal hukum, melainkan juga cermin rapuhnya moralitas. Jika kita gagal melindungi anak-anak di rumah sendiri, lalu kemerdekaan macam apa yang sebenarnya kita rayakan?




