MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang secara resmi melarang ekspor pasir laut kembali menuai apresiasi luas dari berbagai kalangan. Salah satu suara tegas datang dari Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Ki Jal Atri Tanjung, yang juga merupakan seorang advokat dan aktivis lingkungan hidup.
“Ini bukan sekadar putusan hukum. Ini adalah langkah konstitusional yang menyelamatkan masa depan ekologi maritim Indonesia. Kita sedang menghadapi pertarungan antara kepentingan rakyat dan kerakusan eksploitasi korporasi yang difasilitasi kebijakan negara,” kata Ki Jal Atri Tanjung dalam pernyataannya, Kamis (26/6), menanggapi Putusan MA No. 5/P/HUM/2025.
Putusan tersebut membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang sebelumnya membuka kembali izin ekspor pasir laut oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal, sejak lebih dari dua dekade lalu, ekspor pasir laut telah ditutup karena terbukti merusak ekosistem laut dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional.
Mahkamah Agung menilai bahwa kebijakan ekspor pasir laut merupakan bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab negara dalam melindungi lingkungan hidup laut dan pesisir. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan secara tegas tidak mengatur tentang penambangan dan penjualan pasir laut untuk kepentingan komersial, sehingga langkah pemerintah membuka keran ekspor dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan ekologis.
Dalam konteks ini, Ki Jal Atri Tanjung menyebut bahwa kebijakan seperti PP No. 26/2023 adalah cermin dari orientasi kekuasaan yang berpihak pada pasar dan oligarki. Ia menilai bahwa keputusan Mahkamah Agung menjadi titik balik penting untuk memperkuat supremasi hukum dan menegakkan keadilan ekologis.
“Putusan ini tidak hanya soal pasir. Ini tentang arah kebijakan negara: apakah kita masih punya keberanian menolak tekanan investor rakus yang ingin menjual habis kekayaan laut kita, atau kita memilih berpihak pada rakyat yang hidupnya bergantung pada laut,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi Mahkamah Agung yang menurutnya telah menunjukkan independensinya sebagai benteng terakhir keadilan rakyat. “Putusan ini adalah suara nurani. MA telah menjalankan perannya dalam menjaga konstitusi dan akal sehat hukum bangsa,” tambahnya.
Senada dengan pernyataan tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rilis resminya menyatakan bahwa ekspor pasir laut adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan tidak berpihak pada keadilan sosial maupun kelestarian lingkungan.
LBH menyampaikan tiga poin sikap utama:
1. Menolak segala bentuk pengelolaan laut yang berorientasi pada kepentingan korporasi dan mengancam ekosistem serta penghidupan nelayan tradisional.
2. Mendesak pemerintah untuk menghentikan total praktik penambangan pasir laut.
3. Akan terus mengawal implementasi putusan MA agar tidak ada celah hukum baru yang dibentuk untuk melegalkan kembali kebijakan serupa di masa depan.
Dalam pernyataan tertulisnya, Ketua LBH AP PP Muhammadiyah, Taufiq Nugroho, SH, MH, menyebutkan bahwa praktik ekspor pasir laut seringkali menjadi alat legalisasi kepentingan pragmatis jangka pendek yang merugikan rakyat dan lingkungan dalam jangka panjang. Ia juga mendorong agar uji materi atas peraturan di bawah undang-undang ke depan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan publik.
Penambangan pasir laut selama ini dikenal memberikan dampak kerusakan serius pada ekosistem pesisir, termasuk abrasi pantai, penurunan populasi biota laut, kerusakan terumbu karang, serta berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Selain itu, ekspor pasir laut juga memicu kekhawatiran tentang kedaulatan teritorial, terutama bila material tersebut digunakan negara lain untuk reklamasi pulau atau penguatan wilayah maritimnya.
“Apakah kita rela pulau-pulau kita hilang karena pasirnya kita jual ke luar negeri?” kata Ki Jal dengan nada retoris. “Kita tidak sedang bicara bisnis semata, tapi juga soal eksistensi wilayah, sumber pangan, dan masa depan generasi pesisir.”
Putusan Mahkamah Agung ini menjadi sinyal keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi total arah kebijakan sumber daya alam (SDA), khususnya di sektor kelautan. Pemerintah diminta lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam menyusun kebijakan agar tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Sebagaimana ditekankan LBH PP Muhammadiyah, pengelolaan laut seharusnya mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan ekologis, dan kesejahteraan rakyat – bukan sekadar logika keuntungan ekonomi jangka pendek.
“Indonesia negara maritim, bukan pasar pasir laut global. Laut kita bukan komoditas, tapi warisan dan tanggung jawab,” pungkas Ki Jal Atri Tanjung.






