Mahyeldi Keluarkan Instruksi Anti-Tambang Ilegal, Wakil Ketua PWM Sumbar Ki Jal Atri Tanjung Tekankan Pentingnya Aksi Kongkrit Pendataan dan Pemulihan

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Langkah Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 2/INST-2025 tentang penertiban Penambangan Tanpa Izin (PETI) menuai respons beragam. Sementara pemerintah daerah mengklaim serius memberantas tambang ilegal, kalangan aktivis justru mempertanyakan keseriusan komitmen tersebut.

Instruksi yang ditandatangani 19 September lalu itu mengarahkan seluruh bupati dan wali kota se-Sumbar untuk berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dalam mencegah dan menindak aktivitas tambang ilegal. Mahyeldi menyebut tambang liar tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

“Tambang ilegal bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” tegas Mahyeldi di Padang, Senin (22/9/2025).

Dalam instruksi tersebut, kepala daerah diminta mengidentifikasi lokasi PETI, melakukan sosialisasi bersama tokoh adat dan agama, serta memberikan edukasi tentang pentingnya izin pertambangan. Pemerintah kabupaten/kota juga diwajibkan menyampaikan laporan perkembangan penanganan PETI setiap triwulan.

Gubernur yang akrab disapa Buya ini menekankan, langkah penertiban merupakan tanggung jawab moral pemerintah menjaga kelestarian alam Sumbar. “Kalau alam rusak, dampaknya bukan hanya hari ini, tapi juga untuk anak cucu kita,” ujarnya.

Namun, instruksi tersebut justru mendapat sorotan kritis dari Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar yang juga Wakil Ketua DPW Peradin Sumbar, Ki Jal Atri Tanjung. Meski menyatakan dukungan, dia mempertanyakan keseriusan komitmen pemerintah daerah.

“Saya menyayangkan pernyataan yang terkesan lambat dari gubernur. Meskipun begitu, kami mendukung gubernur Sumbar agar membuat langkah konkret mengatasi tambang ilegal,” kata Ki Jal Atri Tanjung.

Aktivis hukum ini mengingatkan, kerusakan akibat tambang ilegal membutuhkan waktu pemulihan yang sangat lama. Dia menuntut pemerintah tidak sekadar mengeluarkan instruksi tanpa tindakan nyata di lapangan.

“Jangan hanya sekedar pernyataan tanpa aksi konkret. Kerusakan akibat tambang lama recoverynya,” tegas Ki Jal Atri.

Ki Jal Atri juga mendesak pemerintah daerah melakukan pendataan dan pemetaan komprehensif terhadap seluruh lokasi tambang ilegal di Sumbar. Menurutnya, langkah ini penting untuk memahami skala permasalahan sebenarnya.

“Tambang ilegal harus didata dan dipetakan secara detail. Selain itu, lokasi tambang yang sudah terlanjur rusak harus segera direklamasi kembali agar tidak semakin parah,” ujarnya menambahkan.

Instruksi Gubernur Sumbar ini muncul di tengah maraknya aktivitas tambang ilegal di berbagai daerah yang mengancam kelestarian lingkungan dan merugikan masyarakat lokal. Efektivitas instruksi tersebut kini menjadi sorotan publik, terutama dalam implementasi di tingkat lapangan.

Instruksi Gubernur: Ada Taji atau Sekadar Formalitas Atas Tambang Ilegal?

Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mahyeldi Ansharullah, baru saja mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 2/INST-2025 tentang Pencegahan, Penertiban, dan Penegakan Hukum terhadap Aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI). Instruksi ini ditujukan kepada seluruh bupati dan wali kota se-Sumbar, dan diteken pada 19 September 2025.

Secara normatif, langkah ini patut diapresiasi. Setidaknya, pemerintah provinsi menunjukkan perhatian terhadap maraknya aktivitas tambang ilegal yang sudah lama menjadi persoalan di berbagai daerah di Sumbar. Namun pertanyaan kritis yang perlu diajukan: apakah instruksi ini akan efektif menunjukkan tajinya seorang gubernur, atau justru hanya menjadi dokumen administratif yang tidak lebih dari formalitas belaka?

Tambang ilegal di Sumbar bukan isu baru. Hampir setiap tahun kita disuguhi berita tentang aktivitas tambang emas tanpa izin, tambang pasir dan batu yang tak terkendali, hingga pengerukan sungai yang menyebabkan kerusakan ekosistem. Aktivitas ini tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang serius.

Banjir bandang, longsor, kerusakan lahan pertanian, hingga tercemarnya aliran sungai oleh merkuri dan bahan kimia lainnya adalah akibat nyata dari PETI. Masyarakat di sekitar tambang sering kali justru menjadi korban, bukan penerima manfaat.

Dalam konteks itulah, instruksi gubernur seharusnya bisa dibaca sebagai momentum penting. Namun masalahnya, publik sudah cukup sering disuguhi instruksi, imbauan, atau surat edaran dari pejabat yang pada akhirnya tidak punya daya paksa. Apalagi, dalam tata kelola pemerintahan, sebuah instruksi gubernur lebih bersifat normatif dan koordinatif.

Artinya, keberhasilan instruksi ini sangat bergantung pada komitmen bupati dan wali kota, serta penegak hukum di lapangan. Jika para kepala daerah di kabupaten/kota memilih untuk “setengah hati” atau bahkan “tutup mata” terhadap aktivitas tambang ilegal, maka instruksi gubernur ini hanya akan berakhir di atas kertas.

Di sinilah muncul pertanyaan kritis: apakah Gubernur Mahyeldi benar-benar punya taji untuk memastikan instruksi ini berjalan? Ataukah ini hanya sekadar upaya formalitas agar pemerintah provinsi tidak dituding diam? Jika yang terjadi hanya sebatas memenuhi kewajiban administratif, maka publik berhak mengatakan gubernur gagal menunjukkan kepemimpinan yang kuat.

Instruksi gubernur seharusnya tidak berhenti pada retorika. Kata-kata Mahyeldi bahwa “tambang ilegal bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak lingkungan dan merugikan masyarakat” memang benar adanya. Tetapi masyarakat tentu ingin melihat lebih dari sekadar pernyataan.

Pertanyaannya: langkah konkret apa yang akan diambil setelah instruksi diteken? Apakah akan ada tim khusus yang diturunkan ke daerah-daerah rawan PETI? Apakah akan ada sanksi nyata bagi kepala daerah yang tidak menindaklanjuti instruksi tersebut? Atau instruksi ini hanya akan menjadi surat yang dipajang di papan pengumuman kantor bupati dan wali kota?

Kita tidak bisa menutup mata bahwa tambang ilegal di Sumbar sering kali dilindungi oleh “jaringan kekuasaan”. Tidak sedikit cerita beredar tentang keterlibatan oknum aparat, elite politik lokal, bahkan tokoh masyarakat dalam membiarkan atau mengambil keuntungan dari aktivitas PETI. Maka, menertibkan tambang ilegal tidak cukup dengan instruksi normatif. Diperlukan keberanian politik, kekuatan koordinasi, dan ketegasan hukum yang konsisten.

Lebih jauh, ada dilema yang kerap menjadi alasan di balik sulitnya memberantas PETI: soal ekonomi rakyat. Tidak sedikit warga yang menggantungkan hidupnya pada tambang ilegal. Mereka bekerja sebagai penambang, buruh, atau pelaku ekonomi kecil di sekitar lokasi PETI. Menutup tambang berarti memutus sumber pendapatan masyarakat.

Namun membiarkannya beroperasi berarti membiarkan kerusakan lingkungan yang dampaknya jauh lebih besar. Inilah tantangan sebenarnya: bagaimana pemerintah menghadirkan solusi alternatif ekonomi bagi masyarakat yang terdampak? Apakah instruksi gubernur juga menyentuh aspek ini, atau hanya menekankan sisi penertiban hukum semata?

Dalam hal ini, publik menuntut kepemimpinan yang visioner. Seorang gubernur tidak cukup hanya mengeluarkan instruksi, tetapi juga harus mampu menyiapkan ekosistem kebijakan yang menyeluruh. Misalnya, dengan mengembangkan program padat karya, membuka lapangan pekerjaan alternatif, atau mendorong pengelolaan tambang rakyat dengan izin resmi yang ramah lingkungan.

Instruksi gubernur ini juga harus dibaca dalam konteks legitimasi kepemimpinan Mahyeldi sendiri. Kini berada di periode kedua sebagai Gubernur Sumbar, publik tentu menilai sejauh mana keberanian dan tajinya selama ini. Apakah ia hanya piawai dalam beretorika dengan bahasa religius yang menyejukkan, ataukah ia benar-benar mampu menindak persoalan keras seperti tambang ilegal?

Jika gubernur ingin instruksinya tidak dianggap sebagai formalitas, maka ada beberapa langkah penting yang bisa ditempuh. Pertama, membentuk tim terpadu lintas instansi dengan kewenangan jelas untuk melakukan penertiban PETI. Kedua, menetapkan sanksi administratif bagi kepala daerah yang terbukti abai dalam menindaklanjuti instruksi. Ketiga, melibatkan masyarakat sipil dan media untuk memantau implementasi kebijakan ini.

Sebaliknya, jika setelah instruksi dikeluarkan tidak ada pergerakan berarti, tidak ada operasi penertiban, dan tidak ada laporan perkembangan dari kabupaten/kota, maka wajar jika publik menyimpulkan bahwa gubernur tidak punya taji. Kekuasaan yang dimilikinya hanya digunakan sebatas memenuhi kewajiban administratif, bukan untuk benar-benar menegakkan aturan dan melindungi rakyat.

Akhirnya, publik akan menilai instruksi gubernur ini dari hasilnya, bukan dari isinya. Kata-kata tegas yang dilontarkan Mahyeldi hanya akan bermakna jika benar-benar diikuti oleh tindakan nyata. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa instruksi gubernur hanyalah satu lagi dokumen normatif tanpa taji kekuasaan.

Publik tidak butuh sekadar instruksi; publik butuh bukti nyata bahwa seorang gubernur benar-benar hadir untuk menegakkan aturan dan melindungi kepentingan rakyatnya. Inilah ujian sesungguhnya bagi Mahyeldi: apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin berani, atau hanya sebagai pejabat yang gemar mengeluarkan instruksi tanpa hasil.

Related posts