Malam Domino Sang Menteri

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Di Jakarta, sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur, politik dan hiburan kerap bertemu dalam ruang-ruang yang tak terduga. Pada awal September 2025, di sebuah posko perkumpulan warga Sulawesi Selatan, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), sebuah permainan sederhana bernama domino berubah menjadi bahan perbincangan nasional.

Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia, mendadak menjadi sorotan setelah sebuah foto dirinya beredar luas di media sosial. Dalam gambar itu, ia duduk di meja kecil, dikelilingi beberapa pria, tampak santai, sambil menggenggam kartu domino. Seolah tak ada yang istimewa, kecuali satu hal: salah satu pria di seberang meja adalah Azis Wellang—nama yang kini melekat sebagai tersangka kasus pembalakan liar.

Bagi publik yang gerah dengan isu perusakan hutan, foto itu lebih dari sekadar momen santai. Ia dianggap simbol keterhubungan yang samar antara kekuasaan dan pelanggaran hukum.

Raja Juli menanggapi riuh ini dengan tenang. Melalui akun Instagram pribadinya, ia menceritakan kembali kronologi malam itu, dengan detail yang nyaris diarahkan untuk membangun alibi: dirinya, katanya, hanya memenuhi janji bertemu dengan Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding. Pertemuan dua jam di ruang belakang posko itu, menurut Raja, berlangsung penuh diskusi politik, tetapi tanpa sedikit pun menyentuh isu pembalakan.

“Saya berdiskusi dengan Mas Menteri Karding berdua saja di ruang bagian belakang selama dua jam-an lebih. Tidak ada tema diskusi kami menyangkut kasus pembalakan liar sama sekali,” tulis Raja.

Ketika jam mendekati tengah malam, Raja bersiap pulang. Namun sebelum meninggalkan posko, ia sempat singgah di ruang tamu. Di sana, suasana berbeda menyambutnya: ramai, riuh, penuh canda. Beberapa orang bermain domino, sebuah permainan yang dalam banyak komunitas urban maupun perantauan adalah bahasa kebersamaan. “Setelah dua kali putaran,” katanya, “saya pamit pulang kepada Mas Menteri Karding dan banyak orang yang ada di ruang tamu tersebut.”

Di titik inilah foto itu diambil. Dan sejarah pun berbelok.

Dalam keterangannya, Raja menekankan: ia sama sekali tak mengenal dua orang yang bermain bersamanya selain Karding. “Saya tidak kenal dengan dua pemain lainnya. Tidak ada juga pembicaraan soal kasus apapun pada saat itu,” ujarnya. Baru setelah berita itu menyebar, ia sadar bahwa pria di meja itu adalah Azis Wellang—orang yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka pembalakan liar.

Raja lalu menegaskan sebuah garis keras: “Bagi saya, tidak ada sedikitpun ruang bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum di kawasan hutan. Saya akan tegakkan hukum setegas-tegasnya kepada pembalak liar tanpa pandang bulu.”

Pernyataan ini seolah ingin menutup kemungkinan tafsir lain. Bahwa dalam politik, sering kali sebuah foto lebih kuat daripada seribu kata. Bahwa simbol—sebuah domino di tangan menteri—bisa menjadi ruang spekulasi publik yang sulit dikendalikan.


Kisah ini juga berbicara tentang nasib seorang menteri muda yang lama dikenal sebagai “otak intelektual” di balik partai politik baru, Partai Solidaritas Indonesia. Raja Juli, yang dulu menulis artikel tentang Islam progresif dan demokrasi sosial, kini harus berhadapan dengan absurditas politik praktis: bahwa seulas senyum di meja permainan bisa menghapus narasi serius tentang perlindungan hutan.

Di luar itu, ada aroma klasik politik Indonesia yang terasa akrab: pertemuan informal di posko komunitas daerah, diskusi panjang di ruang belakang, lalu relaksasi dengan permainan rakyat. Sebuah lanskap sosial-politik di mana batas antara politik, persahabatan, dan hiburan sering kabur.

Pertanyaannya kini: apakah publik percaya pada versi Raja Juli? Apakah permainan domino itu memang sekadar hiburan atau simbol yang lebih dalam tentang jejaring kekuasaan?

Dalam politik, kebenaran sering kali kalah oleh persepsi. Dan di era media sosial, persepsi adalah mata uang yang nilainya lebih mahal daripada klarifikasi.

Di malam itu, Raja Juli mungkin hanya melihat domino sebagai permainan. Tetapi bagi banyak orang, potongan kayu kecil itu kini tampak seperti metafora: tentang betapa rapuhnya batas antara integritas dan kecurigaan, tentang bagaimana seorang menteri bisa kehilangan kendali atas narasi hanya karena dua putaran permainan.

Dan domino, seperti politik, selalu menunggu giliran jatuh berikutnya.

Related posts