MINANGKABAUNEWS.com,FEATURE — Di negeri yang tanahnya subur, ironisnya banyak lahan justru dibiarkan tidur panjang. Berhektar-hektar sawah, ladang, dan perkebunan dipagari tembok tinggi, dijaga satpam, tanpa sehelai pun padi tumbuh di atasnya. Tanah itu ada, namun tak berdenyut kehidupan.
Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menangkap keganjilan itu. Dalam sebuah acara Wakaf Pendidikan Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Sabtu (16/8/2025), ia melontarkan gagasan yang langsung menggemparkan.
“Tanah rakyat yang nganggur bisa saja diambil alih negara. Itu agar lebih bermanfaat bagi masyarakat luas,” katanya.
Kalimat itu meluncur ringan, tapi dampaknya seperti batu dilempar ke danau yang tenang—riak dan gelombangnya meluas ke mana-mana.
Ketika Luqathah Masuk ke Arena Agraria
Menag Nasaruddin tidak berhenti di sana. Ia mengaitkan wacana tanah menganggur dengan istilah fiqh yang akrab di kitab kuning: luqathah.
Dalam penjelasannya, ia menyinggung praktik di era Khalifah Umar bin Khattab. “Luqathah-nya Umar itu apabila ada tanah atau properti yang tidak dikuasai selama lima tahun berturut-turut, maka itu jatuh menjadi milik negara,” ujarnya.
Bagi Nasaruddin, ide itu bukan sekadar hukum sejarah, melainkan sebuah inspirasi. Ia bahkan menyebut, jika diterapkan, manfaat ekonominya bisa menyamai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, di balik niat baik itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah luqathah benar-benar relevan untuk urusan tanah di Indonesia?
Suara dari Ranah Minang: “Ini Salah Kaprah”
Reaksi keras segera datang dari ulama Minangkabau. Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, menilai pernyataan Menag itu tidak tepat.
“Luqathah dalam fiqh itu soal barang temuan—kambing tersesat, dompet jatuh—bukan tanah orang. Menyamakan keduanya itu salah kaprah,” ujarnya dengan nada tegas.
Di Minangkabau, tanah bukan sekadar lahan ekonomi. Ia adalah pusaka tinggi, warisan nenek moyang yang dijaga oleh penghulu, bukan untuk dijual atau dialihkan sembarangan. Bahkan jika dibiarkan kosong, tanah itu tetap punya makna simbolis: penanda eksistensi kaum.
Seorang tokoh adat di Payakumbuh menambahkan dengan peribahasa: Nan bana indak ka hilang, nan salah indak ka jadi. “Yang benar tak akan hilang, yang salah tak akan jadi. Kalau tanah pusaka disebut luqathah, itu sama saja menghapus adat dari akar,” katanya.
Negara, Agama, dan Politik Tanah
Polemik ini menyibak luka lama: sengketa tanah yang berulang dari Sabang sampai Merauke. Negara, sejak lama, punya instrumen hukum soal tanah telantar.
Kementerian ATR/BPN, lewat PP Nomor 20 Tahun 2021, telah mengatur penertiban tanah telantar. Fokusnya jelas: pada Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki badan hukum, bukan pada tanah masyarakat dengan sertifikat hak milik.
“Para pemilik SHM tidak perlu panik,” tegas Dirjen PPTR ATR/BPN, Jonahar.
Maka, pertanyaan publik semakin menggantung: mengapa Menag justru membawa istilah luqathah—yang bahkan dalam ushul fiqh punya konteks berbeda—ke ruang agraria modern?
Antara Kitab dan Kebijakan
Penggunaan istilah fiqh untuk membingkai kebijakan negara bukan hal baru di Indonesia. Bahasa agama kerap dijadikan jembatan untuk menguatkan legitimasi politik.
Namun, ada bahaya di sana: penyempitan makna. Luqathah yang sejatinya membahas barang tercecer, kini dipaksa masuk ke ranah tanah dan lahan. Padahal, dalam kaidah ushul fiqh, al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bi khusus as-sabab—makna diambil dari keumuman lafaz, bukan sebab khusus. Tetapi, memaksakan konsep kitab ke konteks hukum agraria bisa menimbulkan distorsi fatal.
Seorang akademisi hukum Islam di Padang yang enggan namanya disebut menyindir, “Kalau tanah yang nganggur dianggap luqathah, maka rumah kosong juga bisa? Atau mobil yang tak dipakai setahun? Ini kan absurd.”
Dari Warung Kopi ke Parlemen
Di warung kopi Lubuk Begalung, isu ini jadi bahan obrolan sehangat kopi kawa daun. Seorang petani jagung mengeluh:
“Kalau tanah orang kaya di Jakarta tidak digarap, itu memang menyakitkan hati kami. Tapi solusinya bukan pakai istilah kitab. Negara punya aturan, tinggal ditegakkan.”
Suara itu berkelindan dengan obrolan di Senayan, di mana sebagian politisi melihat isu tanah menganggur sebagai potensi bahan bakar politik. Di tanah air yang masih dihantui ketimpangan kepemilikan lahan, wacana ini bisa jadi api dalam sekam.
Menjaga Kata, Menjaga Tanah
Di Minangkabau ada pepatah: alam takambang jadi guru. Tanah, dengan segala diamnya, mengajarkan sesuatu. Ia bisa tidur puluhan tahun, tapi tetap setia menunggu siapa yang akan menggarapnya.
Kata-kata seorang pejabat pun serupa tanah: bila salah dipakai, bisa menimbulkan sengketa panjang. Pernyataan Menag tentang luqathah mungkin lahir dari niat baik, tapi resonansinya justru membangkitkan keresahan.
Masyarakat butuh kepastian hukum, bukan kerancuan istilah. Ulama butuh ketelitian, bukan permainan bahasa. Negara butuh kebijakan yang tegas, bukan sekadar analogi kitab yang salah tempat.
Karena, di ujungnya, tanah bukan sekadar harta: ia adalah identitas, sejarah, dan masa depan.






