MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Sebuah masjid megah berdiri kokoh. Karpet merahnya bersih, udara sejuk dari AC menyapa, lampu kristal berkilauan. Tapi di balik kemegahannya, ada sekat tak kasat mata: “Dilarang tidur di dalam masjid.” Tulisan itu mungkin terpampang di dinding, atau sekadar bisikan teguran dari mulut seorang marbot. Padahal, sejarah Islam justru berkata lain.
Tragedi memilukan di Masjid Agung Sibolga, akhir Oktober 2025, menjadi bukti kelam bagaimana sekat itu bisa berujung maut. Arjuna Tamaraya, seorang musafir berusia 21 tahun yang hanya ingin melepas lelah dalam perjalanannya, harus meregang nyawa di tempat yang seharusnya menjadi rumah paling aman baginya. Ia dikeroyok lima pemuda hanya karena berani mengistirahatkan badannya di dalam masjid.
Kasus ini bagai tamparan keras. Bagaimana mungkin rumah Allah, yang seharusnya menjadi naungan bagi setiap hamba yang letih, justru berubah menjadi lokasi kejahatan yang biadab? Dalam pernyataan sikapnya, Pengurus Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumatera Barat dengan tegas mengecam tindakan ini. Mereka menyerukan agar aparat berwenang mengusut tuntas dan menindak tegas para pelaku. Tindakan kriminal di dalam masjid, “telah menodai kesucian tempat ibadah dan dikhawatirkan merusak sendi-sendi persatuan,” tulis pernyataan tersebut.
Lantas, benarkah tidur di masjid adalah dosa yang harus dihakimi?
Masjid adalah Rumah, Bukan Hanya Tempat Sholat
Sejarah Islam justru berbicara sebaliknya. Mayoritas ulama dari berbagai mazhab membolehkan seseorang, terlebih musafir, untuk beristirahat di masjid. Mazhab Maliki pun, yang menganggapnya makruh, memberikan pengecualian bagi para musafir yang tidak memiliki tempat berteduh. Bagi mereka, masjid adalah tempat paling layak: aman dan suci.
Rasulullah SAW sendiri memberi teladan. Suatu ketika, beliau mendapati menantunya, Ali bin Abi Thalib, tertidur lelap di dalam masjid setelah berselisih dengan Fatimah. Melihat tubuh Ali yang berdebu, Rasulullah tidak marah. Beliau justru tersenyum dan membangunkannya dengan panggilan penuh kasih, “Bangunlah, wahai Abat Turab (Bapak yang berlumur debu).” Kisah ini adalah bukti nyata bahwa masjid adalah rumah yang memanusiakan manusia, memahami kebutuhan, dan mengayomi.
Mengembalikan Fungsi Masjid yang Ramah
Sudah saatnya kita mempertanyakan kembali aturan-aturan kaku yang justru menjauhkan masjid dari fungsinya sebagai rumah bersama. Alih-alih melarang, pengelola masjid justru seharusnya didorong untuk menyediakan area khusus bagi musafir. Sebuah ruang sederhana dengan alas tidur bersih, sudah cukup untuk menjadi penanda kasih sayang umat.
Tentu, sebagai tamu Allah, musafir juga memiliki adab yang harus dijaga: menjaga kebersihan diri, tidak mengotori masjid, dan tidak mengganggu jamaah yang sedang beribadah. Dengan saling memahami, masjid akan tetap suci sekaligus ramah.
Kematian Arjuna adalah panggilan bangkit bagi kita semua. Ini adalah momentum untuk mengembalikan masjid pada khittahnya: sebagai rumah Allah yang membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun, termasuk mereka yang letai dalam perjalanan, mencari secuil keteduhan dan perlindungan.
Jangan biarkan larangan tidur di masjid menjadi pembenaran bagi sikap tidak manusiawi. Mari buka pintu masjid kita, bukan justru mengusir mereka yang membutuhkannya. Karena sejatinya, kemegahan sebuah masjid bukanlah pada arsitekturnya, tetapi pada seberapa besar kasih sayang yang mampu ditawarkannya kepada setiap orang yang memijakkan kaki di dalamnya.






