Memahami Khusyuk, Wajal, dan Qunut: Kunci Ikhlas dalam Ibadah

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, dalam kajian fiqh terkini menguraikan tiga konsep kunci dalam Islam: khusyuk, wajal, dan qunut. Menurutnya, ketiganya menjadi fondasi meraih keikhlasan dan kekhusyukan ibadah. Acara yang digelar di Masjid Surau Buya Gusrizal Bukittinggi ini dihadiri ratusan jemaah dari berbagai daerah.

Buya Dr. Gusrizal menjelaskan, khusyuk bukan sekadar ritual fisik, melainkan kelembutan hati, ketundukan, ketenangan, dan kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT. “Khusyuk ibarat lenturnya hati yang diikuti kepatuhan jasmani-rohani. Anggota tubuh adalah tentara, sedangkan kalbu (hati) adalah panglimanya,” ujarnya. Ia menekankan, gerakan lahiriah dalam salat harus mencerminkan ketulusan batin, seperti tercantum dalam QS. Al-Mu’minun: 1-2.

Wajal, atau gemetarnya hati akibat rasa takut kepada Allah, digambarkan Buya Gusrizal sebagai respons alami orang beriman saat diingatkan tentang akhirat. “Seperti orang yang menghindar dari jalan berharimau, wajal mendorong kita menjauhi maksiat karena takut azab-Nya,” paparnya. Ayat QS. Al-Mukminun: 60 menjadi rujukan, di mana hati orang beriman gemetar saat mengingat Allah, lalu bersegera menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Qunut memiliki dua dimensi: ketundukan universal seluruh makhluk (QS. Ar-Rum: 26) dan ketaatan manusia secara konsisten dalam ibadah. “Qunut bukan hanya saat salat, tetapi komitmen menjaga ketaatan dalam seluruh aspek kehidupan,” tegas Buya Gusrizal. Ia mengutip QS. Al-Baqarah: 238 yang memerintahkan umat Islam untuk “berdiri karena Allah dalam keadaan qunut”, menegaskan pentingnya ibadah berkelanjutan.

Buya Dr. Gusrizal juga menyoroti persoalan lembaga zakat yang dinilai bermasalah. “Saya tak akan menarik pernyataan hingga ada klarifikasi resmi dari MUI Pusat. Menyampaikan kebenaran adalah tanggung jawab, meski berisiko dicaci,” tegasnya.

Buya mengingatkan, ulama sejati harus berpegang pada ilmu, bukan popularitas atau jabatan. “Ilmu adalah cahaya petunjuk. Ulama yang hakiki tak akan diam melihat kemungkaran, karena ia takut akibat menyembunyikan kebenaran,” tambahnya.

Di akhir kajian, Buya Dr. Gusrizal menekankan bahwa kekhusyukan adalah buah dari pemahaman mendalam terhadap ketiga konsep tersebut, ditopang ikhtiar lahir-batin. “Masyarakat perlu bergerak dari sekadar ritual menuju kesadaran akan keikhlasan, kecemasan terhadap dosa, dan konsistensi dalam ketaatan,” pesannya.

Buya juga mengimbau umat lebih kritis menyalurkan zakat, sembari menunggu keputusan MUI terkait lembaga yang sedang dikaji.

Related posts