Membaca Ulang Soeharto dengan Akal Sejarah

  • Whatsapp

Oleh: Ali Zubeir Hasibuan, SH — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kembali mencuat, seperti gema masa lalu yang tak kunjung usai. Namun, alih-alih menjelma sebagai ruang perenungan sejarah, perdebatan publik kerap tergelincir menjadi ajang pembacaan moral yang biner: memuja atau mencela, mengenang atau melupakan. Di tengah polarisasi ini, akal sejarah seakan tak diberi tempat.

Soeharto adalah sosok yang kompleks. Ia bukan hanya diktator Orde Baru dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga arsitek pembangunan yang menata fondasi Indonesia modern. Selama 32 tahun kekuasaan, ia tidak hanya mengendalikan negara, tetapi juga mengatur arah pertumbuhan sosial, ekonomi, dan politik bangsa ini—dengan seluruh paradoksnya.

Bukan rahasia, pembangunan masif di era Orde Baru menyisakan luka: represi politik, korupsi yang terinstitusi, dan matinya oposisi. Namun, sejarah tidak cukup dibaca dari kacamata trauma. Ia harus didekati dengan keberanian intelektual untuk melihat kerumitan, bukan kenyamanan narasi tunggal.

Mari melihat data dan capaian, bukan sekadar kesan. Swasembada beras tahun 1984, yang membawa penghargaan dari FAO, adalah hasil dari kebijakan pertanian yang sistematis: subsidi pupuk, pembangunan irigasi, hingga penyuluhan yang menjangkau desa-desa. Program SD Inpres membangun puluhan ribu sekolah dasar, memperluas akses pendidikan dasar secara signifikan.

Puskesmas dan Posyandu memperkuat layanan kesehatan primer. Program KB mengubah cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan dan perencanaan keluarga. Kredit Usaha Tani, Transmigrasi, hingga enam Pelita (Pembangunan Lima Tahun) menunjukkan konsistensi dalam rencana pembangunan nasional—apa pun motif ideologis di baliknya.

Bahkan dalam aspek ekonomi makro, lewat BULOG dan Dewan Stabilisasi Harga, Soeharto mampu meredam inflasi dan menciptakan stabilitas di tengah guncangan global. Pendek kata: ia membangun. Dan pembangunan itu bukan retorika, melainkan struktur yang masih berdiri hingga hari ini.

Lantas, apakah capaian itu menghapus dosa politik Orde Baru? Tentu tidak. Tapi pertanyaannya: apakah sejarah hanya boleh dibaca dari luka?

Gelar Pahlawan Nasional bukanlah pengampunan, melainkan pengakuan terhadap kontribusi besar. Menimbang Soeharto bukan berarti mengagungkan, tapi membaca secara utuh. Kita perlu berhenti menyederhanakan sejarah menjadi hitam-putih. Dunia Soeharto, seperti halnya Indonesia sendiri, adalah wilayah abu-abu.

Bangsa besar bukan yang mudah melupakan, tapi yang mampu memaafkan tanpa menghapus jejak. Kita bisa mencatat Soeharto sebagai pelaku otoritarianisme, sembari tetap mengakui bahwa ia meletakkan fondasi ekonomi dan kelembagaan negara yang tak bisa begitu saja dikesampingkan.

Rekonsiliasi dengan masa lalu tidak mungkin terjadi jika kita terus menempatkan sejarah sebagai ruang dendam. Sudah waktunya kita membaca Soeharto tidak hanya dengan rasa, tapi juga dengan nalar.

Related posts