MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE – Setiap periode kepemimpinan menyimpan kisahnya sendiri. Di era Buya Gusrizal Gazahar, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, cerita itu hadir dalam bentuk peristiwa yang sulit dipisahkan dari ingatan kolektif: masa-masa getir ketika salat berjemaah dibatasi oleh pandemi, perdebatan panjang tentang otoritas agama dan negara, hingga lahirnya sebuah bangunan yang kini menjulang sebagai simbol baru kesungguhan ulama di Ranah Minang.
Di Jl. Khatib Sulaiman, Padang, persis di jantung kawasan strategis Masjid Raya Sumbar, berdiri kerangka besi dan beton yang terus tumbuh ke langit. Dari kejauhan ia seperti menara harapan, dari dekat ia adalah denyut kerja keras. Para pekerja menyambung besi, menuang semen, menata bata. Di antara debu dan suara mesin las, ada satu sosok yang hampir selalu hadir: Buya Gusrizal. Hampir setiap pekan ia turun langsung meninjau, bertanya, mengoreksi detail kecil, seolah hendak memastikan gedung itu bukan sekadar selesai, tetapi sempurna.
“Pembangunan ini amanah umat. Kita tidak boleh main-main,” ucapnya pada suatu kunjungan, ditemani beberapa pengurus.
Rumah Lama di Nurul Iman
Sebelum menara lima lantai itu berdiri, MUI Sumbar hidup dalam keterbatasan. Selama puluhan tahun, kantor lembaga ulama ini menumpang di lantai II Masjid Agung Nurul Iman, Padang. Sebuah ruangan sederhana, mendaki, penuh arsip, kursi lipat, dan toilet yang rusak. Dari ruang itu, fatwa-fatwa lahir, musyawarah dilaksanakan, dan mediasi keagamaan ditempuh—semua dalam suasana yang lebih sering jadi saksi kesabaran daripada kenyamanan.
Namun bahkan rumah pinjaman pun tidak selalu bebas dari drama. Suatu hari, pengurus MUI menerima sepucuk surat dari pihak pengurus masjid. Surat itu ditulis dengan bahasa yang halus, diplomatis, tetapi menusuk seperti “surat cinta” yang menyiratkan ketidaknyamanan keberadaan MUI di lantai itu. Bagi sebagian pengurus, surat itu adalah sindiran, bagi yang lain ia peringatan. Tetapi bagi sejarah, surat itulah pemicu kesadaran bahwa MUI Sumbar memang membutuhkan rumahnya sendiri.
Tawaran yang Tak Terlupakan
Ketika wacana pembangunan gedung mulai bergulir, datang tawaran mengejutkan dari seorang tokoh legendaris Minang : almarhum Herman Nawas. Pengusaha itu, dengan kemurahan hati yang khas, menawarkan sebidang tanah untuk MUI. Sebagian pengurus terharu, sebagian lagi skeptis: apakah tawaran itu realistis, apakah birokrasi akan merestui? Namun yang jelas, tawaran itu menandai babak penting—bahwa MUI mulai dipandang sebagai institusi yang layak diberi tempat terhormat, bukan sekadar menumpang.
Drama pun berlanjut hingga ke Jakarta. Di sebuah rumah makan Timur Tengah bernama Abu Nawas, kawasan Matraman, Buya Gusrizal ditemani seorang laskar terlibat diskusi panjang. Aroma nasi kebuli bercampur dengan suara debat tentang lokasi, dana, dan keberlanjutan pembangunan. Ada yang menekankan urgensi, ada yang mengingatkan resiko. Di meja makan itu, mimpi tentang gedung MUI semakin konkret, dimana Buya Gusrizal terlibat perbincangan hangat dengan sejumlah elit partai yang menandakan babak baru pembangunan gedung MUI.
Menara Baru di Khatib Sulaiman
Kini mimpi itu berwujud nyata. Dengan anggaran Rp24 miliar dari APBD Sumbar, PT NHK Jaya Mandiri dipercaya membangun struktur lima lantai yang ditargetkan rampung dalam 210 hari. Rancangannya detail:
Lantai pertama: lobi utama, pintu masuk umat.
Lantai kedua: kantor LPPOM, jantung pengawasan halal.
Lantai ketiga: ruang pimpinan.
Lantai keempat: ruang ketua bidang dan komisi.
Lantai kelima: aula utama.
Lantai keenam: atap dak terbuka, ruang refleksi sekaligus simbol keterbukaan.
Gedung ini bukan sekadar kantor. Ia dirancang sebagai pusat integrasi fungsi strategis keulamaan: fatwa, mediasi keagamaan, pengawasan halal, hingga dakwah kolaboratif lintas lembaga. Setiap kali Buya Gusrizal hadir, para pekerja sering menyapanya dengan hormat. Mereka tahu, bangunan ini lebih dari sekadar beton—ia adalah rumah amanah umat.
Beberapa lantai bahkan mulai bisa difungsikan. Musyawarah Daerah (Musda) MUI Sumbar akan menjadi momentum perdana di salah satu ruang yang catnya bahkan belum kering. Para ulama yang hadir duduk di kursi sederhana, debu masih terasa di udara, tetapi wajah mereka memancarkan kepuasan. “Akhirnya kita punya rumah,” bisik seorang peserta dengan mata berkaca-kaca.
Lebih dari Beton
Mungkin bagi sebagian orang, gedung hanyalah tumpukan bata dan semen. Tetapi bagi MUI Sumbar, ia adalah lambang konsistensi, kesabaran, dan keyakinan bahwa pelayanan kepada umat harus terus bergerak maju. Dari ruang-ruang inilah nanti lahir fatwa-fatwa baru, keputusan strategis, dan program edukasi yang lebih sistematis.
Cerita ini bukan sekadar tentang gedung lima lantai di Khatib Sulaiman. Ia tentang perjalanan panjang: dari ruang sempit di Nurul Iman, selembar surat yang memicu kesadaran, tawaran tanah dari tokoh masyarakat, hingga drama makan malam di Abu Nawas, Jakarta. Dan di ujungnya, sebuah menara baru kini berdiri, menandai babak baru perjalanan MUI Sumbar.
Seperti amanah umat yang tak pernah berhenti, begitu pula Buya Gusrizal: siang dan malam memastikan bangunan ini tumbuh kokoh. Di bawah langit Padang yang berubah warna saban sore, gedung itu pelan-pelan menjelma menjadi simbol—bahwa ulama, dengan segala dinamikanya, tetaplah pilar yang menjaga arah langkah umat.






