MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Tanpa regulasi jelas, filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” terancam menjadi slogan kosong di Sumatera Barat. Peringatan keras ini datang dari Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar.
Kondisi di lapangan menunjukkan kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Sejumlah sekolah di Bukittinggi dan Padang sudah mencoba menerapkan ABS-SBK sebagai mata pelajaran. Hasilnya? Jauh dari harapan karena tidak ada panduan resmi.
“Implementasinya berjalan tanpa arah yang jelas,” ungkap Ki Jal dalam paparannya yang diterima redaksi.
Sebenarnya, fondasi legal untuk mewujudkan ini sudah tersedia. UUD 1945 Pasal 18B dengan tegas mengakui kekhususan daerah dan masyarakat hukum adat. Lebih spesifik lagi, UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat bahkan mencantumkan ABS-SBK sebagai karakteristik utama provinsi ini.
Pasal 5 huruf c undang-undang tersebut menegaskan bahwa karakter religius dan budaya Minangkabau yang berbasis ABS-SBK adalah ciri khas Sumbar. Namun ironisnya, belum ada Peraturan Daerah yang mengoperasionalkan amanat undang-undang ini.
Ki Jal menekankan pentingnya hierarki regulasi yang lengkap. Perda Provinsi menjadi induk yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Gubernur, dilanjutkan dengan Perda Kabupaten/Kota, hingga Peraturan Bupati/Walikota.
“Tanpa kerangka hukum bertingkat ini, setiap daerah akan menafsirkan ABS-SBK dengan caranya sendiri,” jelasnya.
Perda ini bukan sekadar formalitas. Menurut pejabat Muhammadiyah ini, regulasi tersebut akan menjadi panduan konkret dalam berbagai aspek kehidupan: keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, hingga penegakan hukum.
Visi besarnya adalah melahirkan “generasi gemilang” – istilah untuk menyebut generasi yang memiliki moral karakter dan kinerja mumpuni. Konsep “tali tigo sapilin” (tiga tali yang terpilin) menjadi fondasi untuk membangun kompetensi lintas generasi.
Namun Ki Jal mengingatkan, pembentukan Perda saja tidak cukup. Dibutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Sosialisasi masif juga krusial untuk membangun partisipasi publik.
Kini bola berada di tangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan DPRD Sumbar. Akankah mereka segera merespons urgensi ini, atau membiarkan filosofi ABS-SBK tetap mengambang tanpa wujud nyata?






