MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE — Pada suatu siang di Istana, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan reshuffle kabinet. Biasanya, pengumuman seperti ini berlangsung cepat, formal, tanpa banyak drama. Nama-nama menteri baru dibacakan, kursi kosong segera terisi. Tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Satu jabatan dicopot—dan dibiarkan begitu saja kosong. Tidak ada pengganti, tidak ada pejabat ad interim. Kosong, seperti sebuah kursi di ruang tamu yang sengaja ditinggalkan, membuat orang bertanya-tanya.
Kursi itu adalah kursi Menteri Pemuda dan Olahraga. Pemiliknya, Dito Ariotedjo, mendadak lengser. Tanpa ucapan panjang, tanpa penjelasan gamblang. Tiba-tiba, selesai begitu saja.
Dito sejatinya bukan orang sembarangan. Ketika pertama kali muncul di panggung politik nasional pada 2023, ia dipandang sebagai wajah masa depan. Saat itu, Presiden Joko Widodo menunjuknya menggantikan Zainudin Amali. Usianya baru 33 tahun. Ia pun mencatat sejarah: menteri termuda di kabinet Jokowi, bahkan tetap yang termuda di kabinet Prabowo.
Wajahnya segar, gayanya kalem. Latar belakangnya sebagai pengusaha muda sekaligus kader Partai Golkar membuatnya mudah dipromosikan sebagai simbol regenerasi. Ia adalah bukti bahwa politik masih memberi ruang untuk anak muda, setidaknya di permukaan.
Ketika Jokowi lengser dan Prabowo naik, Dito masih bertahan. Sebuah kontinuitas yang jarang terjadi. Namun perjalanan Dito di kursi Menpora tak pernah benar-benar berkilau. Program kepemudaan berjalan datar, sektor olahraga tetap berkutat dengan masalah klasik: pendanaan yang tak cukup, organisasi cabang olahraga yang retak, dan prestasi atlet yang seringkali lebih ditopang semangat pribadi ketimbang kebijakan struktural.
Sosoknya yang low profile membuat kehadirannya nyaris tenggelam dalam hiruk pikuk politik dan pemberitaan. Ia ada, tapi seperti tak terlalu penting.
Namun yang lebih membebani Dito bukan hanya soal kinerja. Namanya pernah terseret ke dalam pusaran kasus korupsi menara BTS di Kemenkominfo. Ia memang tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan tidak pernah dipanggil sebagai saksi resmi. Ia pun membantah semua tuduhan. Tetapi di politik Indonesia, persepsi sering lebih kuat daripada fakta hukum.
Bagi seorang presiden yang baru mulai berkuasa, beban persepsi bisa lebih berat daripada sebuah kasus nyata. Dan dalam logika kekuasaan, membuang beban lebih mudah daripada menanggungnya.
Itulah yang membuat pencopotan Dito semakin misterius. Mengapa mendadak? Mengapa tanpa pengganti?
Biasanya, setiap kursi menteri kosong segera diisi. Kalau tidak ada orang baru, setidaknya ditunjuk pejabat sementara. Kali ini tidak. Menpora dibiarkan kosong. Tidak seperti Budi Gunawan yang posisinya langsung digantikan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai ad interim.
Kosongnya kursi Dito justru memantik spekulasi. Apakah Prabowo sedang menimbang sosok baru yang tepat? Apakah ada perhitungan politik yang lebih besar di balik layar? Atau justru ada alasan personal yang belum terungkap ke publik?
Bagi Partai Golkar, kehilangan Dito jelas terasa. Ia adalah simbol distribusi kursi untuk menjaga keseimbangan koalisi, juga wajah muda yang bisa dijual ke publik. Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, memilih bersikap hati-hati. Ia menyebut reshuffle adalah hak prerogatif Presiden. Tetapi di balik itu, sulit menutupi rasa tak nyaman.
Golkar seperti ditinggalkan tanpa pegangan: kursinya diambil, penggantinya tidak ada. Sinyal yang membuat partai harus berhitung ulang, bagaimana menjaga pijakan di tengah konstelasi baru.
Dalam kerangka lebih luas, lengsernya Dito bisa dibaca sebagai simbol pergeseran. Setelah Jokowi turun, pelan-pelan jejak-jejaknya mulai terhapus dari lingkaran kekuasaan. Dito adalah salah satu anasir itu.
Prabowo, mungkin, ingin memastikan kabinetnya bebas dari potensi isu hukum. Ia memilih jalan aman, meski harus mengorbankan seorang menteri muda yang pernah dielu-elukan sebagai simbol regenerasi.
Dito datang dengan harapan besar, tetapi pergi dengan tanda tanya. Ia pernah jadi wajah baru yang dijanjikan, tetapi berakhir sebagai catatan kaki dalam politik yang penuh kejutan.
Kisahnya mengingatkan kita pada kenyataan pahit: di Indonesia, posisi menteri bisa sedemikian rapuh. Bukan hanya soal kinerja, tapi juga soal persepsi, loyalitas, dan kalkulasi politik.
“Ada apa dengan Dito Ariotedjo?”—pertanyaan itu mungkin tidak akan mendapat jawaban cepat. Tetapi kepergiannya adalah potret bagaimana kekuasaan bekerja. Tentang bagaimana seorang menteri bisa sewaktu-waktu didepak, bahkan tanpa banyak penjelasan.
Dan seperti biasa, politik Indonesia selalu menyimpan kejutan. Kali ini, kejutannya bernama Dito Ariotedjo.






