Oleh: Arfino Bijuangsa
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh bangsa dahulu yang beragam sukunya, agamanya, dan daerahnya. Sebut saja di antaranya, founding father Sukarno dari Jawa, Muhammad Hatta dari Sumatera. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang bahkan masih banyak yang tidak mengenalnya. Boleh dikata, bahwa orang-orang yang tergabung dalam anggota BPUPKI semuanya termasuk dalam bapak pendiri bangsa karena mereka adalah para penggagas dasar dan bentuk Negara tercinta ini.
Bahkan orang-orang yang berada di luar anggota BPUPKI itu, seperti mereka yang berjuang dengan mengangkat senjata, bambu runcing dan lainnya, semuanya adalah pendiri atau pejuang memerdekakan apa yang kita sebut sekarang dengan bangsa atau Negara Indonesia. Dan itu terdiri dari beragam etnis, suku, budaya dan bahasa dan agama.
Tapi apa yang sudah mereka lahirkan meski berangkat dari perbedaan-perbedaan itu. Ialah, Bhineka Tunggal Ika yang maknanya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ialah Pancasila yang berarti memiliki lima sila tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indoenesia. Ialah UUD 1945 yang menjadi kontitusi tertinggi di Negara tercinta Indonesia.
Dari beragam itulah muncul sila ketiga, yang berbunyi Persatuan Indonesia yang maknanya bergotong-royong dalam membangun bangsa. Gotong-royong membangun bangsa sudah bagian dari sejarah Indonesia. Gotong-royong adalah semboyan khas Indonesia. Ia sejarah dan juga harapan hingga masa yang akan dating.
Dari keberagaman itu jugalah lahir sila keempat yaitu, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat dan Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Dengan kata lain, perwakilan adalah para wakil dari masing-masing golongan dan daerah yang akan bermusyawarah dalam Negara Indoensia.
Mereka yang masih mempermasalahkan tentang pilar Negara Indonesia adalah mereka yang belum selesai denga dirinya. Padahal, perbedaan atau pandangan untuk menjadikan negara ini seperti apa yang sebagian masyarakat sudah pernah diusulkan pada tempo dulunya. Keinginan tentang negara Indoenesia menjadi negara Islam sudah pernah diusulkan. Tapi keinginan itu sudah diselesaikan dengan para pendahulu kita. Keinginan itu sudah diselesaikan dan dikompromikan dan sudah diambil keputusan bahwa negara Indoensia bukanlah negara Islam tapi negara bangsa (national state).
Di Indonesia, Islam menjelma menjadi praktik-praktik kehidupan rakyat. Nilai-nilai Islam adalah roh dalam menjalankan roda kepemimpinan, seperti bermusyawarah, bersatu, keadilan, dan kesetaraan manusia di mata manusia. Sekali lagi, meski Indonesia bukan negara Islam tapi nilai-nilai atau ajaran-ajaran Islam adalah terwujud dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.
Kita sangat berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada para pemerdeka bangsa Indonesia. Dengan tanpa kerja keras dan ide maupun gagasannya, belum tentu kita merasakan kebebasan eperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Salah satu cara berterima kasih itu ialah dengan menjaga apa yang sudah diwarisinya dalam Negara ini. Pilar Negara seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI dan semboyan Bhineka Tunggal Ika harus kita lestarikan dan kita jaga hingga akhir hayat, hingga hari kiamat. Tidak boleh ada yang merusak atau meruntuhkannya. Kalau boleh dikata, kita harus juga memerangi mereka yang ingin merusak dasar dan bentuk Negara kita, walaupun ia adalah saudara sebangsa dan setanah air. Memerangi dalam arti menghambat pergerakannya dan mengajaknya kembali untuk cinta kepada apa yang sudah terbentuk di Negara ini.
Sampai saat ini kita masih berterima kasih kepada pemimpin kita yang masih mempertahankan identitas bangsa ini. Presiden Jokowi dengan nawacita-nya memasukkan kebhinekaan dan kenasionalisme-an menjadi aspek pembanguna prioritasnya. Yakni, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi social Indonesian melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Ruang diaog sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat menyampaikan keluhannya, aspirasinya, dan keinginannya. Ruang dialog dicipatakan agar masyarakat menjadi bukan sekedar pengikut atau yang diperintah melainkan juga aktif mengusulkan dan beraspirasi. Dan memang inilah yang dibutuhkan masyarakat. Tidak ada lagi yang menahan suara-suara rakyat. Ruang ini adalah ruang yang paling dibutuhkan, karena di Indonesia, rakyat adalah kuncinya. Kedaulatan rakyat. Dari kita untuk kita dan kepada kita. Semua untuk satu. Satu untuk semua. Wassalam.
/*Penulis adalah Wasekjen PB HMI / Koordinator Nasional Presidium AMPERA Sumbar