Oleh: Ki Jal Atri Tanjung
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat
Di tengah gaduhnya narasi intoleransi yang kerap menyasar daerah-daerah mayoritas Muslim, Sumatera Barat kembali menjadi sasaran. Bukan hal baru. Daerah ini memang “seksi” untuk dijadikan bahan gorengan politik identitas. Namun, serangan isu semacam itu tampaknya kini tumpul. Tidak mempan. Masyarakat Minangkabau telah kenyang makan asam garam dalam mengelola keragaman. Mereka justru menjadikannya harmoni.
Sumatera Barat sudah lama menjadi miniatur Indonesia—baik di Ranah maupun di Rantau. Keberagaman suku, agama, ras, dan golongan bukan sekadar disambut sebagai takdir sosial, melainkan diterima sebagai sunatullah, bagian dari kehendak ilahi yang mesti dirangkul. Filosofi hidup orang Minang, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, bukan slogan kosong. Prinsip itu dihidupkan dalam keseharian. Kini, bahkan diteguhkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Di bumi Minangkabau, warga tidak sibuk menyoal siapa agamanya apa, sukunya dari mana, atau kulitnya berwarna apa. Karena bagi urang awak, prinsip hidupnya jelas: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di perantauan, mereka tahu diri. Di kampung halaman, mereka menghargai datangnya tamu. Minang menghormati adat orang lain, sekaligus menjaga kehormatan adatnya sendiri. Adat urang disanjung, adat awak dijunjung.
Isu intoleransi bukan hanya usang, tetapi juga gagal mengusik batin kolektif masyarakat Sumatera Barat. Sekalipun ada oknum yang mencoba meniupkan api kebencian, masyarakat sudah punya kekebalan sosial dan kultural yang kuat. Perbedaan bukan musuh; justru jadi perekat sosial. Keberagaman tidak pernah dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai aset, sebagai ladang subur untuk saling belajar dan berbagi.
Tidak mengherankan bila Sumatera Barat bisa menjadi rujukan nasional dalam merawat kebhinnekaan. Di sini, gereja, masjid, klenteng, dan pura berdiri tanpa gaduh. Saling kunjung antarumat menjadi praktik keseharian. Kerukunan bukan proyek pemerintah, tetapi bagian dari denyut nadi masyarakat.
Indonesia sejatinya tak akan pernah ada tanpa perbedaan. Tanpa keberagaman, tidak akan lahir semangat kebangsaan. Tanpa SARA, tidak akan ada NKRI. Itulah sebabnya masyarakat Minangkabau memelihara harmoni ini dengan kesadaran penuh. Tidak reaktif terhadap provokasi, dan tidak mudah digiring oleh framing. Karena mereka tahu, menjaga Indonesia berarti menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Delapan dekade Indonesia merdeka, Minangkabau tetap berdiri di garis depan dalam mempertahankan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Selamat HUT ke-80 Republik Indonesia. Semoga negeri ini tetap jaya, dan Minangkabau terus menjadi mercusuar harmoni di tengah riuhnya dunia yang makin rentan terpolarisasi.
Merdeka! Sekali merdeka, tetap merdeka.
Padang, 2 Agustus 2025




