Muhammadiyah Gagap Digital? Ini Jurus Menjemput Umat di Dunia Maya

  • Whatsapp

Oleh: Ki Jal Atri Tanjung
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat

“Muhammadiyah sekarang ini, lain dengan Muhammadiyah yang akan datang,” begitu pesan KH. Ahmad Dahlan suatu kali. Sang pendiri Muhammadiyah itu mendorong warganya untuk tak berhenti menimba ilmu. “Jadilah guru, mester, insinyur, dan kembalilah kepada Muhammadiyah.”

Seruan itu bukan sekadar motivasi. Dahlan, dengan visinya yang jauh melampaui zaman, seolah telah mengantisipasi gelombang perubahan yang tak terelakkan. Ia ingin warga Muhammadiyah tak sekadar menjadi penonton, apalagi tenggelam, dalam arus zaman. Sebaliknya, mereka harus mampu menunggangi gelombang perubahan, mengambil hikmah, dan tetap berkemajuan.

Kini, tantangan itu menjelma dalam wujud yang nyaris tak tersentuh oleh imajinasi di era Dahlan: dunia digital. Kehidupan yang serba virtual mengubah segalanya, tak terkecuali cara beragama. Masjid tak lagi menjadi satu-satunya ruang belajar. Media sosial menjelma menjadi ‘mimbar’ baru. Di tengah banjir informasi, otoritas keagamaan tradisional tergerus. Yang muncul adalah fenomena ‘agama no, spiritualitas yes’—kedangkalan pemahaman dibungkus formalisme beragama.

Lantas, di mana posisi Muhammadiyah? Organisasi yang mengusung semangat tajdid (pembaruan) ini tak boleh gagap. Ia harus menghadirkan wajah baru dalam berdakwah: mengarungi samudra digital.

Dakwah di Komunitas Virtual: Menjemput Umat di Ujung Jari

Berdakwah di ruang maya bukan tanpa alasan. Setidaknya, ada tiga keuntungan strategis yang bisa dipetik.

Pertama, lahirnya publik yang adaptif. Generasi milenial dan Gen Z hidup berdampingan dengan gawai. Cara mendekati mereka harus ‘sesuai selera’: instan, kreatif, inovatif, dan tak melupakan unsur hiburan. Dakwah model lama, yang kaku dan satu arah, berisiko tak mempan menyentuh hati mereka.

Kedua, dunia maya bagai samudra tanpa tepi. Ia melampaui batas geografis, waktu, ideologi, hingga status sosial. Ini peluang emas bagi Muhammadiyah untuk memperluas jangkauan dakwah. Sebuah pesan dari seorang dai di Padang bisa menggema hingga pelosok Papua, bahkan meraih respons positif dari muslim di belahan dunia lain.

Ketiga, ruang virtual memungkinkan terciptanya ‘kesadaran kelompok’ baru. Di sini, setiap orang bebas berinteraksi, bertukar gagasan, hingga merajut visi bersama. Muhammadiyah dapat memanfaatkan ruang ini untuk membentuk karakter komunitas virtual warganya—sebuah komunitas yang berpengetahuan, terbuka, dan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam yang berkemajuan.

Dakwah digital bukan sekadar pilihan. Ia sudah menjadi keharusan. Dengan merangkul dunia virtual, Muhammadiyah bukan hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga mewujudkan pesan abadi pendirinya: teruslah berkemajuan.

Related posts