Muhammadiyah Kutuk Kekerasan Aparat, Sebut Tragedi Affan sebagai “Extra-Judicial Killing”

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, YOGYAKARTA – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara keras mengutuk tindakan brutal dan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian dalam merespons demonstrasi. Mereka menyatakan tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, driver ojol yang dilindas kendaraan Brimob, adalah bentuk extra-judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan.

Dalam pernyataan pers yang diterbitkan pada 29 Agustus 2025, Muhammadiyah menyampaikan dukacita dan kemarahan moral atas tewasnya Affan. Lembaga itu menegaskan peristiwa ini bukan hanya melukai hak konstitusional warga, tetapi juga membuka kembali luka wajah kekerasan negara yang berulang.

“Negara, melalui Polri, telah gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi hak hidup, hak aman, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum,” tulis pernyataan yang ditandatangani oleh pimpinan LHKP dan MHH PP Muhammadiyah.

Muhammadiyah menilai tindakan represif yang menewaskan warga sipil tersebut melanggar konstitusi dan hukum nasional, termasuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta instrumen internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.

Pola Kekerasan yang Berulang

Tragedi Affan, menurut Muhammadiyah, hanyalah puncak gunung es dari pola kekerasan aparat yang terus berulang. Lembaga ini menyoroti bahwa mereka telah berulang kali terlibat dalam advokasi kasus-kasus serupa, mulai dari Rempang, Wadas, proyek strategis nasional (PSN), konflik perkebunan dan pertambangan, hingga tragedi Kanjuruhan.

“Aparat kerap digunakan untuk mengamankan kepentingan korporasi dan proyek, bukan melindungi rakyat. Kekerasan aparat yang melanggar HAM ini berlangsung dengan pembiaran negara secara terus menerus,” tulis pernyataan tersebut.

Gelombang protes dalam pekan terakhir, disebutkan sebagai akumulasi kemarahan publik atas berbagai kebijakan yang dinilai memberatkan, seperti kenaikan pajak untuk rakyat, fasilitas untuk korporasi, pernyataan pejabat yang nir-empati, hingga penggunaan anggaran negara yang dianggap asal-asalan.

Lima Tuntutan Tegas

Atas dasar itu, Muhammadiyah melalui LHKP dan MHH-nya mendesak otoritas yang berwenang untuk:

1. Penyelidikan dan Penegakan Hukum Transparan: Presiden dan Kapolri diminta bertanggung jawab penuh untuk mengadili anggota kepolisian dan pemberi perintah secara transparan. Mekanisme internal Propam dinilai tidak cukup. Muhammadiyah mendesak pembentukan tim independen yang melibatkan Komnas HAM dan masyarakat sipil.
2. Reformasi Polri Secara Menyeluruh: Presiden harus memerintahkan investigasi independen terhadap seluruh pelanggaran, termasuk di Kanjuruhan dan pengamanan PSN. Mereka menuntut audit menyeluruh terhadap penggunaan kewenangan dan persenjataan Polri.
3. Pertanggungjawaban Penuh Pejabat Negara: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo wajib mengundurkan diri atau dicopot oleh Presiden karena dianggap gagal mengubah watak represif Polri. Presiden sebagai pemegang kendali utama kepolisian juga dinilai tidak boleh lepas tangan.
4. Penjaminan Hak Sipil Warga Negara: Seluruh demonstran yang ditahan harus segera dibebaskan karena penahanan dianggap sebagai pembungkaman kritik. Pemerintah dan DPR diminta membuka ruang dialog dan transparansi.
5. Muhammadiyah menilai tragedi ini menandakan situasi darurat HAM di Indonesia dan menunjukkan arah berbahaya bagi demokrasi. “Tanpa perubahan signifikan, Indonesia berisiko menjadi negara tiran dalam kemasan baru,” demikian peringatan mereka.

Pernyataan itu ditutup dengan penegasan bahwa negara tidak boleh membiarkan kekerasan menjadi cara berinteraksi dengan rakyat. Tragedi Affan Kurniawan disebut sebagai alarm moral dan pertanda penyakit etika politik serta gagalnya penegakan keadilan hukum.

Related posts