MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat menggelar rapat koordinasi penting pada Selasa sore (22/4) di Kantor MUI yang berlokasi di kompleks Masjid Raya Nurul Iman, Jl. Thamrin, Padang.
Pertemuan ini secara khusus membahas persoalan strategis terkait pensertifikatan tanah ulayat di wilayah Minangkabau.
Tanah ulayat, sebagai warisan adat yang hidup dan diakui dalam sistem hukum nasional, memiliki kekhususan tersendiri dalam struktur sosial dan kultural masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, langkah-langkah sertifikasi tanah ulayat perlu mendapat perhatian serius agar tidak menimbulkan konflik atau kegaduhan di tengah masyarakat adat, khususnya di kalangan kaum suku.
MUI, sebagai lembaga keagamaan yang berfungsi sebagai mitra pemerintah (shadiqul hukumah), pembina dan pelindung umat (ri’ayatul ummah), serta penjaga aqidah (himayatul ‘aqidah), merasa berkewajiban untuk turut serta dalam menyikapi persoalan ini.
Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Umum MUI Sumbar, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc, M.Ag, Dt. Palimo Basa. Hadir pula Ketua Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari (Bakor KAN) Sumbar, Dr. Yulizal Yunus, M.Si, Dt. Rj. Bagindo, serta sejumlah pengurus MUI Sumbar lainnya.
Pertemuan tersebut lebih bersifat penjajakan awal untuk menyusun langkah-langkah strategis dalam mencari solusi terbaik yang berlandaskan prinsip musyawarah dan mufakat.
MUI menekankan pentingnya pendekatan dialogis antara semua pemangku kepentingan agar tercipta kesepahaman bersama dalam merumuskan kebijakan yang tidak merugikan masyarakat adat.
Seperti ungkapan bijak masyarakat Minangkabau, “untuk menemukan aie nan janieh sayak nan landai”, dan dalam menyelesaikan masalah yang rumit ibarat “menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus, tepung tidak berserak”.
Isu ini juga mendapat perhatian dari tingkat nasional. Anggota Komisi II DPR RI dari daerah pemilihan Sumbar, Rahmat Saleh, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, pada hari yang sama (22/4) di Jakarta, meminta agar program sertifikasi tanah ulayat di Sumbar dilaksanakan dengan pendekatan yang mengedepankan dialog dan kearifan lokal.
Rahmat menanggapi surat resmi dari MUI Sumbar yang memuat sejumlah catatan kritis terhadap implementasi program tersebut. Dalam pandangannya, kebijakan ini perlu dievaluasi agar tidak mengabaikan struktur sosial dan hak-hak masyarakat adat Minangkabau yang telah lama hidup secara kolektif berdasarkan hukum adat.
MUI Sumbar menyampaikan kekhawatiran bahwa skema sertifikasi yang tidak berpijak pada karakteristik lokal justru berpotensi memicu ketegangan baru di tengah masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian persoalan tanah ulayat perlu ditempuh melalui pendekatan yang holistik dan berkeadilan.
Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, mengingatkan masyarakat akan risiko sertifikasi tanah ulayat yang berpotensi menggerus sistem kepemilikan harta pusaka tinggi.
Buya menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara hukum Islam, adat, dan kebijakan pemerintah.
Buya Dr. Gusrizal menegaskan, program sertifikasi tanah ulayat—sebagai bagian dari kebijakan nasional—dapat mengancam eksistensi harta komunal adat Minangkabau yang berlandaskan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Menurut Buya, sertifikasi individual berisiko mengubah status tanah ulayat menjadi aset privat yang mudah diperjualbelikan atau digadaikan ke lembaga keuangan.
“Kepemilikan mutlak hanya milik Allah. Manusia adalah khalifah yang diberi amanah untuk mengelola harta sesuai syariat,” ujarnyaujarnya.






