Nabi Musa, Fir’aun, dan Asyura: Sejarah Pembebasan yang Membentuk Tradisi Puasa Umat Islam

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Hari Asyura, yang diperingati setiap tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah, bukan hanya sebuah peristiwa ritual. Bagi umat Islam, ia merupakan peringatan atas momen penyelamatan historis yang monumental: lolosnya Nabi Musa AS dan Bani Israil dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah—sebuah insiden yang membentuk tidak hanya sejarah kenabian, tetapi juga tradisi keagamaan hingga kini.

Kejadian yang tercatat dalam sejumlah kitab suci dan tafsir klasik ini menggambarkan pertarungan abadi antara kekuasaan otoriter dan keteguhan iman. Fir’aun, yang secara simbolik merepresentasikan absolutisme dan pengultusan manusia sebagai tuhan, menggunakan seluruh instrumen kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas religius: Bani Israil.

“Pukullah laut itu dengan tongkatmu,” demikian petikan wahyu yang diterima Nabi Musa AS, sebagaimana dikutip dalam QS. Asy-Syu‘ara’: 63. Laut terbelah, tanah menjadi kering, dan sejarah berubah. Peristiwa itulah yang diabadikan sebagai Asyura, hari penyelamatan.

Puasa Asyura menjadi praktik spiritual yang berakar pada sejarah pembebasan. “Puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa satu tahun sebelumnya,” kata Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dikutip dalam Shahih Muslim.

Tradisi ini menjadi semakin kontekstual ketika Nabi Muhammad SAW mengetahui bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur atas keselamatan Musa. Rasulullah pun menegaskan identitasnya sebagai penerus risalah Musa:

“Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.”

Untuk membedakan dari praktik Yahudi, Rasulullah merencanakan menambahkan puasa pada hari sebelumnya, yang dikenal sebagai Tasu’a (9 Muharram).
Sayangnya, beliau wafat sebelum dapat melaksanakannya, tetapi sunnah tersebut kemudian dihidupkan para sahabat.

Di tengah kontestasi kekuasaan global dan meningkatnya otoritarianisme di berbagai negara, narasi Musa dan Fir’aun kembali relevan. Kisah ini merepresentasikan bahwa otoritas tidak kekal, dan bahwa keimanan serta kesabaran mampu menciptakan perubahan struktural bahkan tanpa kekuatan militer.

“Ini bukan sekadar kisah spiritual, tetapi narasi perlawanan sosial,” kata Dr. Zaki Mubarak, dosen filsafat Islam di UIN Syarif Hidayatullah. “Puasa Asyura, secara teologis, adalah bentuk solidaritas terhadap kaum tertindas sepanjang sejarah.”

Majelis Tarjih Muhammadiyah juga mengafirmasi praktik ini dalam Himpunan Putusan Tarjih, menyebutkan bahwa puasa Asyura termasuk sunnah muakkadah yang dianjurkan secara kuat, dan lebih utama jika digabung dengan puasa Tasu’a.

Jadwal 2025

Menurut Kementerian Agama RI, 1 Muharram 1447 H jatuh pada 27 Juni 2025. Maka, puasa Tasu’a (9 Muharram) diperkirakan pada 5 Juli 2025, dan Asyura (10 Muharram) pada 6 Juli 2025. Para ulama menganjurkan niat dilafalkan pada malam sebelumnya.

Asyura bukan sekadar ritual, tetapi simbol pembebasan kolektif dari tirani.

Praktik puasa Asyura dan Tasu’a menjadi bentuk partisipasi ruhani atas sejarah transformatif umat manusia.

Dalam lanskap spiritual global, peringatan ini adalah pengingat abadi bahwa kebenaran dan kesabaran akan selalu menemukan jalannya—meskipun melalui laut yang terbelah.

Related posts