MINANGKABAUNEWS.com, PAYAKUMBUH – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa mengungkapkan pandangan kritis mengenai fenomena yang disebutnya sebagai “Nalar Salah Samek”. Istilah ini ia gunakan untuk menggambarkan cara berpikir yang menyimpang namun dianggap benar oleh sebagian kalangan. Dalam tulisan reflektifnya, Buya mengajak umat Islam untuk kembali menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama dalam menilai kebenaran, terutama ketika menyangkut pembenaran terhadap tindakan yang tidak selaras dengan ajaran agama.
Buya Dr. Gusrizal menyoroti kecenderungan sebagian masyarakat yang memandang tindakan mencaci dan menghina sebagai bentuk kepahlawanan, hanya karena korbannya mendapat perhatian atau simpati publik. Ia mengingatkan bahwa logika seperti ini tidak memiliki dasar dalam Islam. Sebagai analogi, ia mengangkat kisah saudara-saudara Nabi Yusuf as yang pernah mencampakkan Yusuf ke dalam sumur dan menipu ayah mereka, Nabi Ya’qub as. Walaupun akhirnya Nabi Yusuf mencapai kedudukan mulia di Mesir, Al-Qur’an tidak pernah memuji perbuatan saudara-saudaranya tersebut.
Dasar Al-Qur’an dan Hadis
Menguatkan pendapatnya, Buya Gusrizal mengutip QS. Yusuf 12:91 yang menegaskan pengakuan dosa saudara-saudara Nabi Yusuf:
“Mereka berkata, ‘Demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).’”
Selain itu, ia juga merujuk pada sebuah hadis Nabi Muhammad saw yang menyebutkan bahwa meskipun seorang lelaki tampak gagah berani dalam peperangan, ia tetap disebut sebagai “al-rajul al-fajir” (orang durhaka) jika tindakannya tidak sesuai dengan prinsip kebenaran.
Peringatan untuk Umat
Buya mengingatkan umat agar tidak menjadikan manusia biasa sebagai tolok ukur kebenaran, kecuali para Nabi dan Rasul yang dijamin ma’shum (terjaga dari kesalahan). Buya Gusrizal menutup refleksinya dengan hikmah mendalam:
“Kebenaran tidak diukur dari tokoh-tokoh tertentu, melainkan tokoh-tokohlah yang harus diukur dari kebenaran. Ketika kebenaran sudah dikenali, barulah orang-orang yang mengikuti kebenaran dapat diidentifikasi.”
Buya juga mengajak umat Islam untuk terus menjaga standar kebenaran yang lurus dengan berpegang teguh pada tuntunan wahyu, bukan logika yang keliru atau pengaruh individu tertentu.