MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Luka belum kering, air mata belum mengering, bencana kembali datang menghantam. Warga Kelurahan Lambuang Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang, kembali didera trauma yang sama dalam waktu kurang dari 48 jam. Banjir bandang yang baru saja meluluhlantakkan pemukiman mereka pada Selasa pagi (25/11) kemarin, kini kembali datang dengan kejamnya pada Kamis dini hari (27/11).
Ini bukan mimpi buruk biasa. Ini adalah kenyataan pahit yang harus ditelan mentah-mentah oleh ratusan kepala keluarga di kawasan tersebut. Hujan deras yang tak kunjung reda sejak beberapa hari terakhir seolah menjadi kutukan yang terus menghantui tidur warga. Kondisi semakin diperparah dengan meluapnya sungai yang tidak terkendali lagi.
Bencana kali ini datang dengan kehancuran yang lebih masif. Sungai yang melintasi kawasan Lambuang Bukik meluap hingga tak terbendung lagi. Volume air yang melampaui kapasitas normal membuat sungai berubah menjadi monster yang mengamuk, menyapu semua yang ada di sepanjang alirannya.
Yang lebih mengkhawatirkan, Jembatan Gunung Nago yang menjadi penghubung vital bagi warga Kelurahan Lambuang Bukik kini putus total. Jembatan yang biasanya menjadi jalur utama akses warga ke pusat kota itu tidak mampu menahan gempuran air dan material yang dibawa banjir bandang. Putusnya jembatan ini bukan hanya memutus akses fisik, tapi juga harapan warga untuk mendapatkan bantuan dengan cepat.
“Jembatan Gunung Nago sudah putus. Kami sekarang terisolasi. Bagaimana bantuan bisa masuk?” keluh salah seorang warga dengan wajah putus asa. Kondisi ini membuat proses evakuasi dan distribusi bantuan menjadi semakin sulit. Tim relawan dan petugas harus mencari jalur alternatif yang jauh lebih panjang dan berbahaya.
Hendra, saksi mata yang masih beruntung selamat dari bencana pertama, kali ini harus kembali merasakan ketakutan yang sama. Bahkan mungkin lebih mengerikan, karena kali ini datang dengan peringatan yang lebih singkat dan dampak yang lebih luas.
“Rabu malam, 26 November, sekitar pukul 21.00, air mulai naik lagi. Sungai sudah meluap sejak sore, tapi kami pikir hanya banjir biasa seperti kemarin,” ujar Hendra dengan suara gemetar, matanya memerah menahan tangis. “Tapi kali ini lebih dahsyat. Sungainya benar-benar meluap menjadi-jadi. Airnya datang dari mana-mana.”
Trauma bencana Selasa pagi masih membekas, tapi warga sempat berharap ini hanya genangan air biasa yang akan surut dengan sendirinya. Namun suara gemuruh air sungai yang semakin keras membuat sebagian warga mulai panik.
Warga yang masih sibuk membersihkan lumpur dari bencana pertama sempat was-was. Beberapa bahkan sudah mulai mengangkat barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Tapi tidak ada yang menyangka bahwa mimim buruk sesungguhnya akan terulang kembali—bahkan lebih cepat, lebih ganas, dan dengan kerusakan infrastruktur yang lebih parah dari sebelumnya.
Pagi menjelang, tepatnya pukul 06.00 pada Kamis, 27 November, seperti déjà vu yang mengerikan, bencana itu kembali datang. Bukan sekadar banjir, tapi banjir bandang yang datang dengan kecepatan dan volume yang jauh lebih besar dari bencana pertama. Air cokelat keruh bercampur lumpur tebal dan batuan sungai kembali menyapu bersih apa pun yang dilaluinya—termasuk barang-barang yang sempat diselamatkan dari banjir pertama.
Debit air sungai yang meluap secara ekstrem membuat volume banjir kali ini berlipat ganda. Air tidak hanya datang dari hulu, tapi juga merembes dari segala arah karena tanah sudah jenuh dari hujan berkepanjangan.
Tidak ada waktu untuk menyelamatkan apa pun. Tidak ada kesempatan untuk mengambil barang berharga yang tersisa. Bahkan untuk berlari menyelamatkan diri pun warga harus berjuang melawan derasnya arus yang datang begitu tiba-tiba. Semuanya terjadi begitu cepat, persis seperti bencana dua hari sebelumnya, bahkan lebih mengerikan.
“Bah datang begitu cepat, tidak ada yang bisa diselamatkan. Lagi. Semua terulang lagi, tapi kali ini lebih parah. Sungainya seperti tidak kenal ampun,” kenang Hendra dengan suara parau, tangannya gemetar saat menunjuk ke arah rumahnya yang kini bahkan lebih hancur dari sebelumnya.
Kali ini, rasa putus asa lebih dalam. Warga yang baru saja mulai bangkit dari keterpurukan harus kembali terduduk lemas menyaksikan sisa-sisa harta benda mereka kembali hanyut. Tangisan dan jeritan kembali memenuhi udara pagi yang dingin itu. Beberapa lansia bahkan mengalami shock dan harus segera diberi pertolongan.
“Mata tidak bisa dipejamkan. Semua terjadi begitu cepat. Dua kali dalam dua hari. Kami belum sempat bernapas. Sekarang jembatan juga putus, bagaimana nasib kami?” ucap Hendra sambil mengusap wajahnya yang penuh kelelahan dan lumpur kering. Matanya merah, bukan hanya karena menangis, tapi juga karena tidak tidur selama dua malam berturut-turut.
Kini, seluruh area kembali dipenuhi lumpur tebal yang bahkan lebih tinggi dari bencana pertama. Rumah-rumah yang kemarin sempat dibersihkan kini kembali penuh dengan endapan lumpur cokelat yang berbau menyengat. Perabotan yang tersisa dari banjir pertama kini benar-benar lenyap tanpa bekas. Batuan besar dari sungai juga berserakan di mana-mana, menambah tingkat kerusakan yang sudah sangat parah.
Pemandangan yang disaksikan adalah lapisan demi lapisan lumpur yang menumpuk. Beberapa rumah yang kemarin masih berdiri tegak, kini strukturnya mulai rapuh dan terancam roboh. Jalanan yang sudah mulai bisa dilalui kemarin, kini kembali tertutup lumpur setinggi betis orang dewasa, bahkan di beberapa titik mencapai pinggang.
**Akses Terputus, Bantuan Terhambat**
Putusnya Jembatan Gunung Nago membuat situasi semakin kritis. Warga yang membutuhkan bantuan medis darurat kesulitan untuk dievakuasi. Truk bantuan tidak bisa masuk dengan mudah. Tim SAR dan relawan harus memutar jalur hingga belasan kilometer untuk mencapai lokasi bencana.
“Kami butuh bantuan segera, tapi akses terputus. Jembatan putus, jalan penuh lumpur. Kami seperti terisolasi di pulau sendiri,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat dengan nada frustasi.
Beberapa warga yang memiliki kondisi medis tertentu mulai kehabisan obat. Kebutuhan air bersih, makanan, dan pakaian juga semakin mendesak. Kondisi sanitasi yang buruk akibat dua kali banjir berturut-turut mulai menimbulkan kekhawatiran akan penyakit.
Di tengah kepedihan yang berlapis-lapis itu, masih ada secercah keberuntungan kecil yang bisa disyukuri. Aliran listrik tidak padam saat bencana kedua ini terjadi, sehingga warga masih bisa melihat kondisi sekitar dan melakukan evakuasi saat fajar menyingsing. Pelajaran dari bencana pertama membuat beberapa warga sudah lebih siap mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Tim relawan dan petugas BPBD yang masih berada di lokasi sejak bencana pertama juga bisa langsung bergerak cepat melakukan evakuasi. Meski terhambat oleh putusnya jembatan, mereka tetap berusaha maksimal mencari jalur alternatif untuk menjangkau korban. Beberapa relawan bahkan nekat menyeberangi sungai dengan cara berbahaya demi mengantarkan bantuan.
Pemerintah Kota Padang dan BPBD telah mengumumkan status tanggap darurat untuk wilayah Lambuang Bukik. Rencana pembangunan jembatan darurat sudah mulai disusun, meski kondisi cuaca yang masih tidak menentu membuat prosesnya menjadi tantangan tersendiri.
Bencana banjir bandang beruntun ini kembali mengingatkan betapa kuatnya kekuatan alam dan betapa rapuhnya manusia di hadapannya. Lebih dari itu, ini adalah peringatan keras bahwa Lambuang Bukik dan kawasan sekitarnya membutuhkan penanganan serius dan sistematis untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Kondisi sungai yang meluap menjadi-jadi dan putusnya infrastruktur vital seperti Jembatan Gunung Nago menunjukkan bahwa diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola sungai dan kekuatan konstruksi infrastruktur di daerah rawan bencana.
Kini warga Lambuang Bukik tengah berjuang keras membersihkan puing-puing kehidupan mereka yang hancur untuk kedua kalinya. Mereka berjuang melawan rasa putus asa dan trauma yang mendalam. Bantuan dari pemerintah dan masyarakat luas sangat diharapkan segera datang untuk meringankan beban mereka yang sudah begitu berat.
Yang jelas, malam ini, warga Lambuang Bukik akan kembali menatap langit dengan was-was. Akankah hujan kembali turun? Akankah sungai kembali meluap? Akankah banjir bandang datang untuk ketiga kalinya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini menghantui setiap tarikan napas mereka.
Sementara itu, Jembatan Gunung Nago yang putus berdiri sebagai saksi bisu betapa dahsyatnya kekuatan alam yang telah menerjang kawasan ini. Kapan jembatan itu bisa diperbaiki dan kehidupan warga kembali normal, masih menjadi tanda tanya besar.






