MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Di tengah puing-puing kehancuran akibat bencana alam yang melanda Sumatera, di antara air mata para janda yang kehilangan suami, tangis anak-anak yang kehilangan orang tua, dan jeritan hati ribuan warga yang kehilangan tempat tinggal, muncul sebuah paradoks yang memalukan: Pemerintah Indonesia bersiap menambah utang Rp 775,86 triliun ($48,8 miliar) untuk tahun 2025, namun dengan lantang menolak bantuan kemanusiaan tanpa syarat dari negara-negara sahabat.
Kontradiksi ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah cerita tentang prioritas, tentang pilihan, tentang apa yang dianggap lebih penting: gengsi atau nyawa rakyat?
Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat, telah mengungkapkan apa yang mungkin dipikirkan banyak orang Indonesia namun takut mengatakannya dengan lantang. Dalam sebuah pernyataan yang menohok ke jantung masalah kebijakan ini, beliau mempertanyakan: Apakah pemerintah lebih memprioritaskan konsep abstrak kedaulatan daripada kesejahteraan konkret warga negaranya?
Mari kita lihat faktanya dengan jernih. Indonesia dengan rela hati akan menambah utang hampir 776 triliun rupiah—uang yang harus dikembalikan dengan bunga, uang yang akan membatasi anggaran masa depan, uang yang menjadi beban anak cucu kita kelak. Utang ini mengikat, mencekik, dan akan terus menghantui generasi mendatang.
Namun di saat yang sama, ketika negara-negara sahabat mengulurkan tangan untuk membantu korban bencana tanpa syarat apa pun, tanpa perlu dikembalikan, tanpa bunga, tanpa ikatan politik—bantuan yang murni kemanusiaan—pemerintah kita justru membusungkan dada dan berkata: “Tidak, terima kasih. Kami bisa mengatasinya sendiri.”
Ini bukan sekadar angka di laporan keuangan. Ini adalah nasib nyata ribuan keluarga di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh yang masih tidur di tenda-tenda darurat. Ini adalah anak-anak yang kehilangan sekolah mereka, pedagang kecil yang warungnya hancur, petani yang sawahnya tertimbun, dan keluarga-keluarga yang masih berjuang melawan trauma kehilangan.
Ketika bantuan internasional datang—berupa perlengkapan darurat, tenaga ahli, dukungan finansial—tanpa embel-embel syarat pengembalian, respons logis di saat krisis seharusnya adalah rasa syukur dan penerimaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah memilih untuk, meminjam istilah Ki Jal Atri Tanjung, “membusungkan dada” dan “menyombongkan diri” bahwa bangsa ini sanggup pulih sendiri tanpa bantuan luar.
Tapi benarkah ini kemandirian? Atau hanya kedok bagi gengsi dan ego yang berbicara?
Penolakan terhadap bantuan kemanusiaan internasional menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tidak nyaman tentang prioritas dan nilai-nilai yang dianut. Dengan memilih gestur simbolik kemandirian semu ketimbang bantuan praktis bagi warga yang menderita, pesan apa sebenarnya yang ingin disampaikan pemerintah?
Ki Jal Atri Tanjung merumuskannya dengan tegas: “Apakah Pemerintah lebih memprioritaskan kedaulatan negara daripada keselamatan jiwa rakyat?” Ini bukan pertanyaan retoris—ini menuntut jawaban. Ketika sebuah pemerintahan bisa menerima miliaran dolar utang yang mengikat tapi menolak bantuan bencana yang tidak mengikat, apa sebenarnya yang sedang dilindungi, dan siapa yang harus menanggung biayanya?
Ironisnya semakin dalam ketika kita mempertimbangkan posisi Indonesia di komunitas internasional. Bangsa ini telah lama menampilkan diri sebagai pemimpin di ASEAN, juara kepentingan negara-negara berkembang, dan advokat kerja sama global. Namun menerima bantuan kemanusiaan saat krisis nyata—ketika rakyat mengungsi, terluka, dan rentan—entah bagaimana dipandang sebagai “tanda kelemahan” alih-alih apa yang sebenarnya diwakilinya: kedewasaan sebuah bangsa yang nyaman dalam pergaulan global, cukup percaya diri untuk menerima bantuan saat dibutuhkan, dan mampu membalas budi ketika negara lain menghadapi tantangan serupa.
Ada pepatah yang mengatakan “tidak ada doa menolak rezeki.” Kebijaksanaan yang tertanam dalam ungkapan rakyat ini mengakui bahwa bantuan yang ditawarkan dengan niat baik, terutama di saat kesulitan, seharusnya diterima dengan rendah hati dan rasa syukur. Ini bukan kelemahan—ini adalah kearifan.
Ki Jal Atri Tanjung mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip fundamental kemanusiaan yang melampaui batas-batas nasional dan perhitungan politik. Dengan mengacu pada konsep filosofis yang selaras dengan Pancasila—landasan filosofis bangsa Indonesia—beliau mengingatkan kita bahwa kemanusiaan mengandung arti dharma setiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya.
Keluhuran akal budi ini, menurut beliau, menimbulkan rasa dan laku cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap seluruh makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ia mencerminkan keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Rasa dan laku cinta kasih harus tampak sebagai tekad untuk berjuang bersama melawan segala sesuatu yang merintangi kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.
Dalam kerangka ini, bantuan kemanusiaan internasional untuk korban bencana mewakili tepat hal tersebut: ekspresi cinta kasih, kasih sayang, dan solidaritas global dalam pelayanan kemajuan kemanusiaan yang selaras dengan alam dan zaman. Konsep kemanusiaan bersifat universal secara inheren—tidak mengenal batas-batas negara. Ia diimplementasikan melalui cinta kasih bersama, saling membantu, dan berbagi beban hidup untuk kemajuan kolektif.
Filosofi ini bukanlah sesuatu yang asing bagi Indonesia. Bahkan, ia tertanam sangat dalam di prinsip-prinsip pendiri bangsa. Sila kedua Pancasila secara eksplisit menegaskan “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan mengklaim menjunjung tinggi prinsip ini sambil secara bersamaan menolak manifestasi praktis kemanusiaan internasional di saat paling dibutuhkan?
Inkonsistensi kebijakan menjadi semakin mencolok ketika kita mengkaji sifat kewajiban yang diterima versus yang ditolak:
Pinjaman yang Mengikat:
– Harus dikembalikan dengan bunga
– Menciptakan kewajiban fiskal jangka panjang
– Membatasi anggaran pemerintah masa depan
– Membebani banyak generasi
– Seringkali datang dengan syarat-syarat kebijakan
– Merepresentasikan hubungan ketergantungan
Bantuan Kemanusiaan:
– Tidak perlu dikembalikan
– Tanpa beban bunga
– Tanpa kewajiban jangka panjang
– Mengatasi penderitaan manusia yang mendesak
– Biasanya tanpa syarat politik
– Merepresentasikan solidaritas dan kasih sayang
Pilihan pemerintah untuk merangkul yang pertama sambil menolak yang kedua menentang baik logika ekonomi maupun prinsip kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang persepsi dan kedaulatan lebih berat daripada kekhawatiran tentang kesejahteraan warga yang mendesak.
Bayangkan seorang kepala keluarga yang rumahnya terbakar. Tetangga-tetangga datang membawa makanan, pakaian, dan uang tunai tanpa mengharap kembali. Namun sang kepala keluarga menolaknya dengan keras, sambil berkata bahwa keluarganya bisa mengatasi sendiri—sementara di saat bersamaan ia pergi ke bank untuk mengajukan pinjaman dengan bunga tinggi yang harus dicicil bertahun-tahun.
Apakah ini yang kita sebut bijaksana?
Yang penting untuk dicatat, Ki Jal Atri Tanjung menyebutkan bahwa meskipun pemerintah menolak bantuan internasional, organisasi kemanusiaan dan masyarakat sipil terus bekerja sama dengan mitra internasional untuk memberikan bantuan kepada korban bencana. Ini merepresentasikan semangat kemanusiaan yang sesungguhnya—cinta kasih dan kasih sayang dalam tindakan, bekerja menuju kemajuan kolektif.
Organisasi seperti Muhammadiyah, salah satu organisasi masyarakat sipil Islam terbesar di Indonesia, bersama dengan berbagai LSM, kelompok masyarakat, dan lembaga kemanusiaan internasional, tidak membiarkan pertimbangan politik mengesampingkan kebutuhan kemanusiaan. Mereka terus menyalurkan bantuan ke komunitas yang terdampak, menunjukkan bahwa komitmen rakyat Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan melampaui posisi kebijakan pemerintahan.
Ini menciptakan sebuah tata kelola paralel berbasis kasih sayang—sementara kebijakan negara resmi menolak bantuan, masyarakat sipil bangsa merangkulnya, memastikan bahwa bantuan mencapai mereka yang paling membutuhkan. Divergensi antara kebijakan negara dan tindakan masyarakat ini mengungkapkan kedalaman ketidaksinkronan antara posisi resmi dan realitas lapangan.
Di tenda-tenda pengungsian, ibu-ibu yang memasak dengan tungku darurat tidak peduli apakah beras yang mereka masak datang dari bantuan yang “disetujui pemerintah” atau tidak. Yang mereka tahu, anak-anak mereka lapar, dan ada orang baik yang datang membantu. Bagi mereka, kemanusiaan tidak memiliki bendera atau ego nasional.
Ki Jal Atri Tanjung mengakhiri pernyataannya dengan seruan untuk muhasabah—refleksi diri dan evaluasi. Beliau mendesak pemerintah untuk mengevaluasi implementasi nilai-nilai, sikap, dan program kemanusiaan universal berdasarkan Pancasila.
Ini bukan serangan terhadap kebanggaan atau kedaulatan nasional. Sebaliknya, ini adalah permohonan untuk perspektif, untuk mengakui bahwa kekuatan nasional sejati tidak terletak pada penolakan bantuan saat krisis nyata, tetapi pada memiliki kebijaksanaan untuk menerima bantuan ketika ditawarkan dengan niat baik, rahmat untuk bersyukur, dan komitmen untuk membalas budi ketika keadaan memungkinkan.
Bantuan kemanusiaan internasional saat bencana alam bukanlah sedekah yang merendahkan penerima. Ini adalah solidaritas yang memperkuat komunitas global. Setiap bangsa menghadapi bencana—gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran. Ketika kita saling membantu melalui krisis-krisis ini, kita membangun dunia yang lebih tangguh, terhubung, dan manusiawi.
Indonesia sendiri telah murah hati dalam menawarkan bantuan kepada negara lain saat bencana mereka. Ketika Filipina menghadapi topan, ketika Bangladesh menderita banjir, ketika negara-negara tetangga mengalami krisis, Indonesia sering kali berada di antara mereka yang menawarkan bantuan. Kemurahan hati ini mencerminkan baik bangsa dan rakyatnya. Lalu mengapa Indonesia tidak menerima semangat solidaritas yang sama ketika menghadapi tantangannya sendiri?
Sementara rekonstruksi berlanjut di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, pertanyaan fundamental yang diajukan Ki Jal Atri Tanjung tetap tidak terjawab: Mengapa pemerintah Indonesia dengan mudah menerima pinjaman mengikat yang akan membebani generasi masa depan, sementara menolak bantuan kemanusiaan tidak mengikat yang bisa segera meringankan penderitaan saat ini?
Jawaban atas pertanyaan ini akan mengungkapkan banyak hal tentang prioritas sejati tata kelola di Indonesia kontemporer. Apakah bangsa ini menghargai kebanggaan abstrak di atas kesejahteraan konkret? Apakah ia memprioritaskan opsi politik di atas nyawa rakyat? Atau akankah ia menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan untuk mengakui bahwa menerima bantuan saat kebutuhan nyata bukanlah kelemahan tetapi kemanusiaan?
Bagi ribuan orang Indonesia yang masih berjuang membangun kembali kehidupan mereka setelah bencana baru-baru ini, ini bukan debat akademis. Ini adalah pertanyaan dengan konsekuensi langsung dan nyata untuk pemulihan mereka, mata pencaharian mereka, dan masa depan mereka.
Di sebuah desa di kaki gunung yang hancur, seorang kakek duduk di depan reruntuhan rumahnya. Ia kehilangan cucunya dalam bencana. Ketika ditanya tentang penolakan bantuan internasional oleh pemerintah, ia hanya menggeleng pelan. “Mereka yang bicara tentang gengsi,” katanya dengan suara parau, “tidak pernah merasakan kehilangan anak cucu karena pertolongan datang terlambat. Gengsi tidak bisa menggantikan nyawa yang hilang. Gengsi tidak bisa membangun kembali rumah yang hancur.”
Kata-kata sederhana itu mungkin lebih bijaksana daripada semua retorika politik yang membenarkan penolakan bantuan.
Keinginan penutup Ki Jal Atri Tanjung sederhana namun mendalam: Semoga pemerintah tidak gengsi dan egois dalam menerima bantuan kemanusiaan dari negara lain untuk korban bencana alam di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Semoga ia mengakui bahwa bantuan semacam itu merepresentasikan bukan ketergantungan tetapi saling ketergantungan, bukan kelemahan tetapi kekuatan solidaritas kemanusiaan global.
Dalam dunia yang menghadapi tantangan lingkungan dan bencana alam yang meningkat, tidak ada bangsa yang mampu berdiri sendiri. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah Indonesia akan mengakui realitas ini sebelum kebanggaan menagih harga yang terlalu mahal dari rakyatnya sendiri.
Indonesia adalah bangsa yang lahir dari semangat gotong royong, dari filosofi bahwa kita lebih kuat bersama daripada sendiri. Leluhur kita membangun negeri ini dengan prinsip musyawarah, kebersamaan, dan saling tolong-menolong. Bukankah sudah saatnya kita kembali ke akar nilai-nilai itu?
Ketika seorang tetangga jatuh, kita mengulurkan tangan. Ketika seorang saudara terluka, kita datang membantu. Ini bukan kelemahan—ini adalah kemanusiaan. Dan dalam pergaulan global, prinsip yang sama berlaku. Negara-negara di dunia adalah tetangga dalam kampung global ini.
Mungkin sudah waktunya bagi para pengambil kebijakan untuk turun dari menara gading mereka, melepaskan sepatu mengkilap mereka, dan berjalan di tanah berlumpur di desa-desa yang hancur. Mungkin sudah waktunya mereka duduk bersama para janda yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan orang tua, dan petani yang kehilangan sawah. Mungkin di sana, di tengah puing-puing dan air mata, mereka akan memahami bahwa gengsi adalah kemewahan yang tidak bisa dibenarkan ketika rakyat menderita.
Utang Rp 775,86 triliun yang akan diambil pemerintah akan menjadi beban generasi mendatang. Anak-anak kita, cucu kita, akan membayar cicilan utang ini. Namun bantuan kemanusiaan yang ditolak hari ini? Itu bisa menyelamatkan nyawa sekarang, membangun kembali rumah hari ini, mengeringkan air mata esok hari—tanpa membebani siapa pun di masa depan.
Manakah pilihan yang lebih masuk akal? Manakah pilihan yang lebih manusiawi?
Di tengah semua perdebatan kebijakan dan retorika politik ini, mari kita tidak melupakan wajah-wajah sesungguhnya di balik statistik bencana. Mereka adalah ibu-ibu yang masih mencari anaknya di bawah reruntuhan. Mereka adalah bapak-bapak yang mencoba tersenyum di hadapan keluarga sambil menyembunyikan keputusasaan. Mereka adalah anak-anak yang tidak lagi punya sekolah untuk pergi, tidak lagi punya mainan untuk dimainkan, tidak lagi punya tempat yang mereka sebut rumah.
Untuk mereka, pertanyaan Ki Jal Atri Tanjung bukanlah filosofis—ia sangat konkret dan mendesak: Apakah pemerintah akan memilih gengsi atau keselamatan mereka?
Bangsa Indonesia lebih besar dari ego siapa pun. Rakyat Indonesia lebih penting dari gengsi apa pun. Dan kemanusiaan—nilai luhur yang kita junjung dalam Pancasila—tidak mengenal batas-batas politik atau perhitungan kedaulatan.
Sudah saatnya untuk muhasabah. Sudah saatnya untuk kembali ke nilai-nilai dasar kemanusiaan. Sudah saatnya untuk menempatkan rakyat di atas gengsi, nyawa di atas ego, dan kemanusiaan di atas politik.
*Salam Kemajuan Kemanusiaan untuk sesama manusia dan alam semesta.*
Tentang Penulis:
Ki Jal Atri Tanjung adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat dan praktisi advokat untuk prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial.
Artikel opini ini merepresentasikan pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan posisi redaksi. Kami mengundang diskusi dan pandangan beragam tentang isu penting ini yang menyangkut nasib ribuan warga negara Indonesia.






