MINANGKABAUNEWS.COM, MENTAWAI – Empat suku, yakni Sababalat, Samaloisa, Saumatgerat dan Saogo di Desa Mara Kecamatan Sipora Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai pemilik hak ulayat atas lahan 8.682 ha dari nenek moyang menolak usulan menjadi hutan adat yang diusulkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beberapa waktu lalu.
Keseriusan penolakan itu dilakukan oleh pemilik hak Ulayat melalui surat pembatalan pada 19 Juli 2025 yang ditujukan langsung ke Kementerian Kehutanan RI.
Diketahui, Surat penolakan usulan hutan adat itu ditanda tangani oleh 8 Kepala Ulayat dan diketahui Camat dan Kepala Desa setempat. Keenam kepala ulayat berasal dari suku Sababalat, Saumatgerat, Samaloisa dan suku Saogo.
Adapun isi surat tersebut sebagai berikut:
1. Bahwa berkaitan usulan dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat) tentang pengusulan Hutan Adat seluas kurang lebih 8.682 ha di wilayah Desa Mara adalah cacat prosedur karena tidak melalui persetujuan dan kesepakatan kami khususnya penguasa dan pemilik hutan adat, ranji terlampir.
2. Bahwa usulan AMAN dimaksud kami mohon dengan segala hormat harus dibatalkan karena akan memicu lahirnya konflik antar kaum dan antar suku di wilayah Desa kami.
3. Bahwa kami sangat yakin dan percaya pemerintah tidak menginginkan adanya Negara di dalam Negara yang berdaulat.
4. Bahwa sesungguhnya kearifan lokal dan atau kesatuan masyarakat adat Mentawai adalah berdiri sendiri dengan ciri khasnya sendiri yang telah diakui sah oleh negara sebagai bagian daripada kasana kasana pembangunan hukum nasional budaya nasional tidak bisa disamakan dengan bentuk organisasi yang seperti AMAN ini. Oleh karenanya kami kesatuan masyarakat hukum adat mentawai tidak mau dibenturkan oleh keberadaan AMAN.
5. Bahwa kami tegak lurus menjunjung keutuhan NKRI sebagai yang mengayomi kehidupan dan masa depan kami yang ada di masyarakat kabupaten kepulauan Mentawai khusunya Desa Mara.
Salah satu perwakilan pemilik hak ulayat Desa Mara, Pegaol Samaloisa (48) mengatakan, pengusulan hutan adat seluas kurang lebih 8.682 ha tidak diketahui oleh pemilik ulayat. Maka mendengar info akan dijadikannya tanah Ulayat menjadi hutan adat sangat membingungkan kami sebagai pemilik lahan tersebut.
“Kami menolak keras hak tanah Ulayat menjadi hutan adat. Jika nanti dikeluarkan izinnya dari kementerian, apa dampaknya terhadap masyarakat?, kami tidak pernah tahu,” ungkap Pegaol Samaloisa. Selasa (02/09/2025)
Jannas Sababalat (66) juga menyebutkan, bahwa pihaknya tidak pernah mengetahui adanya usulan tanah hak Ulayat akan dijadikan sebagai hutan adat oleh AMAN.
“Kami dari masyarakat Mara salah satu pemilik lahan menolak hak tanah Ulayat dijadikan hutan adat. kami tidak tahu apa dampaknya kepada masyarakat itu tidak jelas. Kecuali ketika setelah dijadikan hutan adat ada dampak positif yang diinginkan masyarakat baru bisa kami paham, inikan tidak jelas.”, ucapnya.
“Kami tidak mau ketika dijadikan hutan adat, lahan sekitar 8.682 hektar itu tidak bisa lagi menjadi milik kami seutuhnya. Namun kami mau ada program yang jelas “, ujar Jannas.
Dikatakannya, sejauh ini pemilik hak Ulayat tidak tahu program apa yang dijanjikan AMAN kepada masyarakat kedepannya. Namun tiba tiba lahan kami mau dijadikan hutan adat tanpa memberikan sosialisasi yang jelas.
Masyarakat Desa Mara itu sendiri ingin adanya investor. Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Karena menurut warga setempat dengan hadirnya perusahaan atau investor bisa membuka lowongan pekerjaan dan membuka akses jalan yang lancar sehingga masyarakat bisa membuka lahan yang lebih luas. (Tirman)






