MINANGKABAUNEWS.com, DHARMASRAYA — Kasus pencurian buah sawit di wilayah Kampung Jawo, Nagari Panyubarangan, Kecamatan Timpeh, Kabupaten Dharmasraya, kian meresahkan masyarakat. Sejumlah warga, khususnya petani sawit, mengaku menjadi korban pencurian yang dilakukan berulang kali oleh pelaku yang sama. Mereka menilai pihak kepolisian belum menunjukkan respons yang tegas dan memadai.
Ali Usman, salah seorang petani sawit yang juga warga Dusun 1 Pianang Jaya, Kanagarian Tabek, menjadi korban pencurian tersebut. Ia mengaku telah melaporkan peristiwa pencurian di kebunnya kepada pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Sitiung 1 Koto Agung pada November 2024.
“Saya telah melaporkan pencurian buah sawit dari kebun saya ke Polsek Sitiung 1 Koto Agung dengan nomor laporan LP/B/30/XI/2024,” ujar Ali Usman saat ditemui Minang Kabau News di kediamannya.
Laporan tersebut, lanjut Ali, sempat ditindaklanjuti dengan permintaan dari kepolisian agar dirinya menghadirkan saksi. “Tiga hari setelah laporan saya, saya hadirkan saksi-saksi. Mereka melihat langsung pencurian itu dan bersedia memberikan keterangan,” ungkapnya.
Namun harapan untuk mendapatkan perlindungan hukum belum juga terwujud. Setelah beberapa waktu, Ali kembali mendatangi Polsek untuk menanyakan perkembangan laporannya. Ia mengaku kecewa setelah mendapat penjelasan bahwa laporan tersebut dianggap tidak cukup bukti.
“Pihak kepolisian menyatakan nilai kerugian hanya sekitar 700 kilogram sawit, yang kalau diuangkan hanya Rp2.100.000. Katanya, itu tidak cukup kuat untuk menindak pelaku,” jelas Ali.
Padahal, menurutnya, aksi pencurian tersebut telah terjadi berulang kali. “Ini bukan sekali dua kali. Pelakunya sama dan kami semua tahu. Bahkan para saksi sudah menjelaskan hal itu. Tapi tetap saja dibilang tidak cukup bukti,” katanya.
Karena merasa tidak mendapat perlindungan yang memadai, Ali memutuskan mengambil inisiatif sendiri bersama warga untuk melakukan pengintaian di kebunnya.
“Setelah beberapa hari berjaga, akhirnya kami melihat pelaku kembali beraksi. Kami langsung hubungi pihak Polsek Sitiung 1 Koto Agung,” ungkapnya. “Mereka memang datang ke lokasi, tapi yang disita hanya buah sawit curian. Pelakunya tidak ditangkap.”
Ali menilai perlakuan tersebut tidak adil, mengingat ia telah memenuhi semua permintaan aparat—dari pelaporan, menghadirkan saksi, hingga membantu proses pengintaian. Ia juga mempertanyakan logika hukum yang digunakan dalam proses ini.
“Kalau pencuri mencuri berulang kali dan kita punya saksi, bukankah itu sudah cukup bukti? Apa lagi yang dibutuhkan?” kata Ali. “Kami jadi bingung, apakah hukum ini hanya berlaku kalau kerugiannya besar? Kalau pencurian kecil, boleh dibiarkan begitu saja?”
Warga lainnya di sekitar Nagari Panyubarangan juga mulai menyuarakan keprihatinan yang sama. Mereka merasa aparat penegak hukum seolah tidak memberikan perlindungan terhadap petani yang menjadi korban pencurian hasil kebun.
“Kami ini hanya petani kecil. Kalau hasil sawit dicuri terus-menerus, kami rugi besar. Masa harus nunggu sampai miliaran baru ditindak?” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Kepolisian Sektor Sitiung 1 Koto Agung belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan warga tersebut. Minang Kabau News telah menghubungi pihak Polsek, namun belum mendapat konfirmasi.
Kasus ini menyoroti persoalan penegakan hukum di tingkat akar rumput, khususnya terkait perlindungan terhadap hasil pertanian rakyat kecil. Di tengah naiknya harga tandan buah segar (TBS) dan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kasus pencurian sawit menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan ekonomi petani di daerah.
Ali Usman berharap laporan dan upaya yang telah ia tempuh dapat menjadi perhatian pihak berwenang. “Kami tidak butuh banyak. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Jangan sampai kami yang lelah di kebun siang malam, justru jadi korban yang diabaikan,” tutupnya.






