Oleh : Dr. Firdaus, M.H.I.
(Anggota Hisab Nasional MTT PPM, dosen Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dan anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat)
Penetapan awal Syawal 1446 H menjadi perbincangan menarik, khususnya terkait keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berbeda dengan beberapa kalender internasional. Meskipun Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) dan Arab Saudi menetapkan 1 Syawal 1446 jatuh pada Ahad, 30 Maret 2025, Muhammadiyah memutuskan Idul Fitri dilaksanakan pada Senin, 31 Maret 2025. Berikut analisis mendalam mengenai latar belakang keputusan ini.
Berdasarkan perhitungan KHGT, konjungsi (ijtimak) awal Syawal 1446 terjadi pada Sabtu, 29 Maret 2025 sebelum matahari terbenam di Arab Saudi, Maroko, London, dan wilayah belahan bumi barat. Saat matahari terbenam, hilal telah wujud (berada di atas ufuk) di daerah tersebut, sehingga malam Sabtu dianggap sebagai malam takbiran dan 1 Syawal ditetapkan pada Ahad, 30 Maret. Penetapan ini selaras dengan semangat menyosialisasikan kalender global yang menyatukan awal bulan Hijriah secara internasional.
Meskipun KHGT menetapkan Ahad sebagai hari raya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tetap mempertahankan prinsip penetapannya berdasarkan metode hisab hakiki wujudulhilal. Metode ini mensyaratkan tiga kriteria kumulatif:
1. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam.
2. Bulan belum terbenam saat matahari terbenam.
3. Piringan atas hilal berada di atas ufuk saat matahari terbenam.
Pada Sabtu, 29 Maret 2025, hasil hisab menunjukkan bahwa di seluruh wilayah Indonesia—dari Papua hingga Aceh—hilal belum memenuhi kriteria tersebut. Meskipun ijtimak telah terjadi sebelum matahari terbenam, posisi bulan justru lebih dahulu terbenam daripada matahari, dan hilal masih berada di bawah ufuk. Dengan demikian, ketiga syarat tidak terpenuhi secara bersamaan. Berdasarkan prinsip ini, Ramadan 1446 H digenapkan menjadi 30 hari, sehingga 1 Syawal ditetapkan pada Senin, 31 Maret 2025.
Keputusan ini mencerminkan konsistensi Muhammadiyah dalam memegang metodologi wujudulhilal, yang menekankan keberadaan hilal secara astronomis meskipun tidak terlihat secara visual. Di sisi lain, penetapan KHGT mengakomodasi visibilitas hilal di belahan bumi lain. Muhammadiyah menghargai semangat penyatuan kalender global, namun tetap berpegang pada ketentuan yang telah ditetapkan Majelis Tarjih sebagai pedoman resmi organisasi.
Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas penetapan kalender Hijriah dalam konteks geografis yang beragam. Bagi Muhammadiyah, integritas metodologi hisab menjadi prioritas, sambil tetap membuka ruang dialog untuk menyelaraskan kalender Islam secara global. Keputusan tersebut bukan hanya menjaga konsistensi keilmuan, tetapi juga mengukuhkan komitmen untuk tidak mengabaikan prinsip dasar yang telah diyakini, sekalipun dalam keragaman penetapan global.
Dengan demikian, Idul Fitri 1446 H menjadi contoh nyata bagaimana Muhammadiyah merawat kearifan lokal keagamaan tanpa menafikan dinamika internasional, sebuah sikap bijak yang memadukan keteguhan prinsip dan keterbukaan ilmiah.




