Oleh : Selvi Herianti
(Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau,FIB Universitas Andalas)
Budaya dan adat istiadat Minangkabau memiliki bentuk bermacam ragam corak tradisi, salah satunya adalah kebiasaan menggunakan pepatah-petitih pada acara-acara tertentu. Pepatah-petitih pada hakikatnya bukan sekadar tradisi atau budaya, lebih dari itu di dalamnya terkandung berbagai jenis nilai-nilai universal, termasuk juga nilai pendidikan.
Pepatah-petitih adalah peribahasa Minangkabau yang berisi nasehat atau ajaran dari para sesepuh. Setiap kalimat yang terdapat dalam peribahasa Minangkabau mengandung falsafah dasar Minangkabau yang bersumber dari alam.
Memahami Makna Pepatah Adat
Sistem pemerintahan yang adil dalam masyarakat sesuai dengan sila kelima Pancasila.masyarakat Minangkabau erat hubungannya dengan asas adat yang bercupak bergantang. Pengertian cupak dan gantang pada dasarnya merujuk pada sebuah ukuran atau standarisasi yang digunakan dalam mengukur suatu hal sehingga sesuai dengan yang diharapkan atau yang kita inginkan. Tidak kurang dan tidak lebih. Tidak berat sebelah pada kepentingan tertentu sehingga menguntungkan sekelompok orang saja.
Dalam kenyataan sehari-hari, arti lebih dan kurang kerap dipahamkan “lebih untuk ke kepentingan pribadi” dan “kurang untuk kepentingan umum” atau kepentingan orang lain. Itu jelas tidak adil. Tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial yang sangat profesional.
Hal itu sangat berbeda dengan adat yang bercupak bergantang yaitu asas yang berlandaskan prinsip keadilan proporsional sebagaimana terkandung dalam sila kelima Pancasila. Dikatakan keadilan yang berlandaskan proporsionalitas karena asas adat ini berdasarkan alur dan patut atau yang sewajarnya.
Pepatah tentang asas adat yang bercupak bergantang berbunyi:
“Cupak papek gantang piawai, cupak duo boleh taia, gantang kurang duo limo puluhah, burieh tak bulieh dilampawi, cupak tak bulieh dilabih-dikurangi. Kok maukuah samo panjang, kalo mangati samo barek, jikok mambilai samo laweh, indak bulieh bapihak-pihak, indak bulieh bakatian kiri, luruih bana dipegang sungguh, dimato nan tidak dipicingkan, didado nan tidak dibusungkan, dipariuk nan tidak dikampihkan.”
(Cupak pepat gantang piawai, cupak duabelas tahil, gantang kurang dualima puluh, baris tak boleh dilampaui, cupak tak boleh berlebih-berkurang. Kalau mengukur sama panjang, kalau menimbang sama berat, jika membilai sama luas, tidak boleh berpihak-pihak, tidak boleh berkatian kiri, lurus benar dipegang sungguh, tiba di mata jangan dipicingkan, tiba di dada jangan dibusungkan, tiba di perut jangan dikempiskan.)
Pepatah adat ini menjelaskan bahwa cupak sebagai ukuran tidaklah tunggal melainkan memiliki perspektif yang berbeda-beda karena itu terdapat beberapa macam cupak. Sebut misalnya ada cupak usali (cupak asli) yang merupakan ukuran berdasarkan hati nurani.
Lalu ada cupak buatan, yaitu ukuran atau standarisasi yang dibuat manusia untuk kepentingan dan kemakmuran bersama dalam masyarakat. Ada juga cupak nan piawai yang merupakan ukuran yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan hidup setiap manusia.
Itulah beberapa macam cupak yang mempertegas prinsip proporsionalitas dalam menegakkan keadilan. Hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa keadilan sudah memiliki ukuran-ukuran dalam pola kehidupan masyarakat adat Minangkabau sejak dahulu kala.
Setiap ukuran tersebut berkembang mengikuti perubahan zaman dengan memegang asas patut atau kewajaran sesuai situasi. Inilah wujud keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam sila kelima Pancasila.
Setiap sila sebenarnya eksis dalam kehidupan masyarakat adat pada umumnya dan adat Minangkabau pada khususnya. Nilai ketuhanan dalam sila pertama menjadi landasan kehidupan masyarakat adat yang selalu menjaga keselarasan dengan alam semesta sebagai wujud pemujaan kepada sang Pencipta.
Masyarakat adat juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap hubungan sosial seperti terlihat dalam masyarakat adat Minangkabau.
Nilai persatuan terlihat kental dalam masyarakat adat yang memandang dan menempatkan setiap individu sebagai cerminan keseluruhan masyarakat sehingga setiap individu dalam masyarakat adat dituntut memiliki kesadaran komunal atau kesadaran sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya. Setiap individu bertanggungjawab tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga harus bertanggungjawab pada keluarga dan masyarakat.




