Oleh: Paimal Andri, S.Sos (Ketua Karang Taruna Talamau)
Dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, pemuda selalu memainkan peran penting dalam menciptakan dan mengawal demokrasi. Bahkan, mereka menjadi titik awal perubahan besar dalam perjalanan sejarah bangsa. Perubahan yang diinisiasi pemuda telah berkontribusi terhadap terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat di mata dunia.
Salah satu contoh nyata adalah peran pemuda dalam reformasi 1998, yang menandai transisi dari Orde Baru menuju era reformasi. Kejatuhan rezim Soeharto membuka babak baru bagi Indonesia yang lebih terbuka dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam perubahan besar ini, pemuda bukan sekadar saksi, tetapi juga motor penggerak utama.
Namun, pemuda yang mampu mengawal demokrasi bukanlah pemuda yang sekadar menikmati kebebasan tanpa tanggung jawab. Mereka bukan hanya yang gemar bermain media sosial atau game online tanpa kontribusi nyata bagi masyarakat. Pemuda yang diharapkan adalah mereka yang memiliki kepedulian sosial, gagasan inovatif, serta visi yang dapat mengarahkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam teori modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam, Bourdieu, dan Coleman, modal sosial mencakup jaringan sosial, norma, serta kepercayaan yang memengaruhi partisipasi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. Pemuda yang memiliki akses ke komunitas yang mendukung cenderung lebih aktif dalam kegiatan sosial dan politik.
Komunikasi dan organisasi menjadi kunci utama dalam membangun modal sosial ini. Dengan komunikasi yang baik, pemuda dapat menjalin hubungan dengan individu dan kelompok yang memiliki visi serupa. Selain itu, komunikasi juga menumbuhkan rasa saling percaya antara pemuda dan masyarakat. Ketika kepercayaan ini terbangun, pemuda akan lebih memahami persoalan yang dihadapi masyarakat dan dapat berkontribusi dalam mencari solusi.
Selain komunikasi, keterlibatan dalam organisasi juga memainkan peran penting. Melalui organisasi, pemuda dapat memperluas jaringan, memperkuat keterhubungan dengan berbagai kelompok, serta meningkatkan kapasitas kepemimpinan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Aktivisme pemuda dalam organisasi sosial sering kali berujung pada keterlibatan mereka dalam politik. Pemuda yang memiliki akses ke sumber daya, jaringan sosial, dan pemahaman terhadap permasalahan masyarakat akan lebih siap berperan dalam dunia politik. Sebaliknya, tanpa akses ini, partisipasi politik pemuda cenderung rendah atau bahkan apatis.
Pemuda yang terbiasa membangun jaringan dan komunikasi akan memiliki hubungan kuat dengan masyarakat, tokoh adat, serta pemangku kepentingan lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap pemuda yang memiliki kapasitas ini akan semakin tinggi. Hal ini membuka peluang bagi pemuda untuk terlibat lebih jauh dalam pembangunan masyarakat melalui jalur politik, termasuk dalam kontestasi kepemimpinan.
Dalam konteks Pasaman Barat, momentum pemilihan wali nagari (Pilwana) menjadi kesempatan emas bagi pemuda untuk menunjukkan peran strategis mereka. Partisipasi pemuda dalam Pilwana tidak hanya terbatas sebagai pemilih, tetapi juga sebagai kandidat yang membawa perspektif baru, semangat perubahan, serta inovasi dalam sistem demokrasi nagari.
Sidney Verba, dalam teorinya tentang partisipasi politik konvensional, menyebutkan bahwa salah satu bentuk partisipasi politik adalah mencalonkan diri sebagai pemimpin. Dalam hal ini, pemuda yang maju sebagai calon wali nagari harus memiliki modal sosial yang kuat, termasuk komunikasi yang baik dan jaringan yang luas.
Namun, modal sosial saja tidak cukup. Seorang calon pemimpin juga harus memiliki kapasitas kepemimpinan yang mumpuni serta kesiapan finansial yang wajar untuk mendukung kampanye. Meskipun modal finansial bukan faktor utama, ketiadaannya bisa menjadi kendala dalam persiapan dan pelaksanaan kampanye. Namun, perlu ditekankan bahwa modal finansial ini harus digunakan secara etis dan tidak untuk praktik politik transaksional. Politik uang hanya akan merusak tatanan sosial dan berpotensi mendorong penyalahgunaan wewenang serta korupsi. Oleh karena itu, pemuda yang ingin maju dalam Pilwana harus menanamkan nilai-nilai integritas dan komitmen terhadap kepemimpinan yang bersih dan transparan.
Pemuda dan Era Digital
Di era digital saat ini, pemuda memiliki keunggulan yang dapat menjadi nilai tambah dalam kepemimpinan. Mereka lebih melek teknologi dan informasi dibandingkan generasi sebelumnya. Kemampuan ini memungkinkan mereka untuk:
Memanfaatkan platform digital dan media sosial sebagai alat komunikasi dengan masyarakat.
Menggunakan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan agar lebih efektif dan efisien.
Menerapkan digitalisasi layanan publik untuk mempermudah akses masyarakat.
Mengembangkan sistem administrasi berbasis teknologi guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan pemanfaatan teknologi ini, pemuda dapat membawa inovasi dalam pemerintahan nagari, menjadikannya lebih modern, terbuka, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pemuda memiliki peran strategis dalam membangun demokrasi, termasuk dalam konteks Pilwana di Pasaman Barat. Dengan modal sosial yang kuat, jaringan yang luas, serta pemanfaatan teknologi, mereka dapat menjadi agen perubahan yang membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
Oleh karena itu, pemuda harus berani mengambil peran lebih besar dalam politik nagari. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari demokrasi, tetapi juga penggerak utama dalam mewujudkan kepemimpinan yang lebih inovatif, transparan, dan berorientasi pada kemajuan masyarakat.
Pilwana bukan sekadar ajang pemilihan pemimpin nagari, tetapi juga momentum bagi pemuda untuk membuktikan bahwa mereka siap memimpin dan berkontribusi nyata bagi kemajuan daerahnya.




