MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Rahmat Saleh, mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengadopsi pendekatan yang selaras dengan karakteristik masyarakat dalam proses sertifikasi tanah ulayat di Sumatera Barat.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Kementerian ATR/BPN pada Kamis (30/01/2025), Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyampaikan bahwa penyelesaian masalah hak ulayat telah menunjukkan progres yang signifikan. Dalam 100 hari kerja, kementerian berhasil menyelesaikan 14 Hak Pengelolaan (HPL), melampaui target awal yang ditetapkan sebanyak enam HPL.
Beberapa HPL yang telah disertifikasi mencakup dua bidang di Aceh, 13 bidang di Jambi, delapan bidang di Kalimantan, satu bidang di Banten, dan sembilan bidang di Sumatera Barat. Meski demikian, Nusron mengakui bahwa pendaftaran tanah ulayat di Sumbar masih menghadapi tantangan besar.
Menanggapi hal tersebut, Rahmat Saleh menyoroti pentingnya memahami sistem kepemilikan tanah ulayat yang berlaku di Sumbar. Tanah ulayat dikelola secara kolektif oleh masyarakat hukum adat dengan kepemimpinan ninik mamak sebagai tokoh adat dan pemuka masyarakat.
Rahmat juga mengungkapkan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Kantor Wilayah BPN Sumbar yang saat itu dipimpin Sri Puspita Dewi terkait percepatan sertifikasi tanah ulayat. Ia menekankan bahwa tantangan utama dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah membangun pemahaman bahwa program ini akan membawa manfaat bagi masyarakat.
“Kami mendukung target pemerintah melalui program Asta Cita Presiden Prabowo untuk menyertifikasi 126 juta bidang tanah pada tahun 2025. Sumatera Barat memiliki kekhasan dalam sistem kepemilikan tanah ulayat yang melibatkan ninik mamak dan masyarakat adat. Saya telah mengadakan pertemuan dengan BPN Sumbar, dan kami berkomitmen untuk mendukung program PTSL, terutama di daerah dengan kearifan lokal yang kuat,” ujar Rahmat, Kamis (30/01/2025).
Ia berharap Kementerian ATR/BPN dapat menerapkan kebijakan yang lebih inklusif dan pendekatan yang tepat agar program ini memberikan dampak positif bagi status kepemilikan lahan masyarakat, khususnya di Sumatera Barat.
Dalam kesempatan tersebut, Rahmat juga menyoroti program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), yang menurutnya merupakan langkah positif dalam pemerataan kepemilikan lahan. Selama satu dekade terakhir, pemerintah telah merealisasikan reforma agraria seluas 14,5 juta hektare. Namun, ia mencatat bahwa sebagian besar dari luas tersebut berasal dari legalisasi aset tanah, yakni sekitar 12,26 juta hektare, sementara redistribusi tanah masih relatif kecil, hanya sekitar 1,86 juta hektare.
Rahmat menegaskan bahwa optimalisasi program reforma agraria harus tetap menjadi perhatian utama guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan.