Pertama Kali di Indonesia: Pesantren Kauman Muhammadiyah Ini Siapkan Santri Generasi AI

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG PANJANG — Pesantren tidak lagi identik dengan kitab kuning dan sorban semata. Di tengah gempuran transformasi digital, Pesantren KAUMAN Muhammadiyah Padang Panjang memilih langkah berani: mengajak seluruh pengajar menguasai kecerdasan buatan dan pemrograman.

Keputusan radikal itu tidak datang dari alergi terhadap modernitas, melainkan dari kesadaran bahwa sistem pendidikan Islam harus tetap relevan. Pada Selasa kemarin, ruang majelis guru penuh dengan antusiasme guru-guru yang rela mengalihkan fokus mereka dari papan tulis menuju laptop dan berbagai aplikasi berbasis AI.

Ustadz Harry Kurniawan, praktisi teknologi informasi dan bagian dari komunitas pesantren, menjadi sosok kunci dalam diseminasi ilmu digital ini. Dia datang dengan pengalaman segar dari pelatihan nasional di Padang minggu sebelumnya, membawa urgency yang nyata: guru bukanlah satu-satunya pemberi pengetahuan lagi di era ini.

“Bayangkan saat santri bertanya soal terjemahan bahasa Inggris, atau butuh penjelasan konsep rumit. AI bisa jadi asisten mereka kapan saja,” jelasnya di hadapan puluhan guru yang mencatat setiap poin pentingnya. Tidak cukup mendengarkan, mereka langsung praktik—membuka tools berbasis web, menulis baris-baris kode sederhana, membayangkan bagaimana teknologi itu bisa diselipkan ke dalam ruang kelas mereka.

Euforia pelatihan itu bukan tanpa tujuan. Dr. Derliana, pimpinan pesantren, memiliki visi jangka panjang: menjadikan KAUMAN sebagai lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya diakui karena kedalaman ilmu tradisionalnya, tetapi juga karena kapasitas inovasi dan daya saing global.

“Kami ingin pesantren ini menjadi rujukan, bukan hanya nasional tetapi internasional,” ujarnya tegas. Bagi Derliana, menguasai teknologi adalah strategi survival. Jika tidak, pesantren akan tertinggal—bukan dari kompetitor lokal, melainkan dari ekspektasi generasi muda yang tumbuh di ekosistem digital.

Langkah ini juga bukan sekadar ambisi lokal. Setiap guru yang terlatih berarti setiap santri yang mendapat pembelajaran berbeda—lebih personal, lebih interaktif, lebih sesuai dengan cara kerja pikiran generasi Z dan Alpha. Itu pula yang dimaksud Derliana dengan “relevansi”: tetap memegang nilai-nilai Islam namun tidak buta terhadap alat-alat yang bisa memperkuat pengajaran itu.

Pesantren KAUMAN kini menjadi percobaan hidup. Apakah pendidikan tradisional dan teknologi mutakhir bisa bersatu? Jawabannya akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan—melalui santri-santri yang bukan hanya hafal Quran, tetapi juga mampu membangun aplikasi; bukan hanya paham ilmu fiqih, tetapi juga pemikiran komputasional.

Related posts