Prof. Sobhan Lubis: Menelusuri Redefenisi Hukum Syariat dari Era Nabi hingga Penjabaran Kontemporer

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com,PADANG — Dengan gaya retorika yang memadukan ketenangan dan ketegasan, Prof. Dr. Sobhan Lubis, M.A., Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat, menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumbar. Mengusung tema “Integritas Iman: Menyatukan Amal Perintah dan Penjauhan Larangan”, guru besar syariah ini menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus utuh, tanpa dikotomi antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.

“Ketaatan bukan pilihan parsial. Menjalankan salat tapi masih bergelimang riba, atau rajin sedekah tapi gemar ghibah, adalah bentuk kepatuhan yang cacat,” tegas Prof. Sobhan di hadapan ratusan jamaah. Beliau mengutip Surah Al-Baqarah ayat 208: “Wahai orang-orang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan.”*

Dalam paparannya, Prof. Sobhan merinci empat klasifikasi hukum Islam sebagai panduan komprehensif:
1. Wajib (Fardhu): Fondasi ketaatan yang tak bisa ditawar, seperti salat lima waktu dan zakat.
2. Sunnah: Pengikat celah keimanan, seperti puasa Senin-Kamis dan salat dhuha, yang mengangkat derajat hamba.
3. Haram: Batas terlarang yang merusak kemurnian tauhid, seperti syirik, zina, dan eksploitasi sesama (QS. Al-Isra: 32).
4. Makruh: Titik kehati-hatian, seperti berlebihan dalam hal halal atau mengabaikan adab sosial.

“Menghindari haram sama wajibnya dengan menegakkan fardhu. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,” tambahnya. Beliau mencontohkan, kehalalan rezeki harus dijaga seketat ketepatan waktu salat, sebab keduanya merupakan bentuk ibadah.

Khutbah selama 20 menit itu berhasil menyihir jamaah dalam hening yang khusyuk. Siti Zahra (38), seorang guru mengaji, mengaku terinspirasi oleh penekanan pada kesatuan amal. “Selama ini banyak yang merasa cukup dengan salat wajib, tapi abai pada keharaman gosip atau makanan syubhat. Khutbah ini mengingatkan bahwa iman harus utuh,” ujarnya.

Di bagian penutup, Prof. Sobhan mengajak warga Muhammadiyah menjadi teladan dalam memadukan keteguhan pada hukum Allah dengan keluwesan bermasyarakat. “Gerakan tajdid yang kita usung bukan hanya membersihkan akidah dari khurafat, tapi juga memastikan setiap langkah kita tidak melangkahi yang halal dan haram,” serunya, disambut lantunan tasbih jamaah.

Sebagai bentuk komitmen keilmuan, pengurus Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumbar akan membukukan transkrip khutbah ini dan menyebarluaskannya melalui media sosial. “Kami ingin pesan Prof. Sobhan menjadi pengingat abadi: ketaatan itu holistik,  Dalam khutbah Jumat yang memadukan kedalaman sejarah dan relevansi kekinian, Prof. Dr. Sobhan Lubis, M.A., Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, mengupas transformasi hukum Islam dari masa Rasulullah SAW hingga era Tabi’in (generasi setelah Sahabat Nabi). Bertajuk “Fiqih yang Bergerak: Dari Kesederhanaan ke Kompleksitas dalam Bingkai Maqashid Syariah”, khutbah di Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumbar ini menekankan bahwa dinamika klasifikasi hukum syariat merupakan respons terhadap perkembangan peradaban.

Prof. Sobhan menjelaskan, pada masa Rasulullah SAW, garis hukum Islam masih terpusat pada prinsip dasar halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang). “Nabi SAW, sebagai pembawa syariat, fokus pada penanaman pondasi akidah dan akhlak. Situasi masyarakat yang homogen memungkinkan pendekatan hukum yang sederhana,” ujarnya.

Namun, seiring meluasnya wilayah Islam pasca-wafatnya Nabi, interaksi dengan budaya baru dan masalah sosial yang kian kompleks mendorong para ulama dari generasi Sahabat dan Tabi’in (abad 1-2 Hijriah) merumuskan klasifikasi lebih detail. “Mereka memperkenalkan konsep wajib, sunnah, mubah, dan makruh sebagai turunan dari prinsip halal-haram, tanpa mengubah substansi syariat,” papar guru besar ilmu syariah ini.

Beliau memaparkan lima kategori hukum syariat yang disistematisasi ulama klasik:
1. Wajib (Fardhu): Kewajiban mutlak seperti salat lima waktu dan zakat.
“Meninggalkan yang wajib adalah dosa, sementara mengerjakannya adalah fondasi keimanan.”
2. Sunnah: Amalan anjuran Nabi (misal: puasa Senin-Kamis, salat rawatib) yang menyempurnakan ibadah wajib.
“Sunnah adalah bukti kecintaan pada Rasulullah; mengabaikannya tak berdosa, tetapi kehilangan pahala besar.”
3. Mubah: Hal-hal netral yang boleh dilakukan selama tidak melanggar batas (misal: memilih warna baju).
“Allah memberi ruang kebebasan di area mubah, tetapi kebebasan ini ujian kehati-hatian.”
4. Makruh: Perbuatan yang sebaiknya dihindari meski tidak berdosa (misal: berlebihan dalam hal mubah seperti makan hingga kekenyangan).
“Menjauhi makruh adalah cermin kepekaan hati seorang mukmin.”
5. Haram: Larangan mutlak yang merusak jiwa dan masyarakat (misal: riba, zina).
“Haram adalah batas yang tak boleh dilanggar, sekalipun demi alasan ‘kebutuhan’.”

Prof. Sobhan mengilustrasikan dinamika ini dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khattab yang melarang nikah mut’ah (kawin kontrak), padahal pernah diizinkan Rasulullah SAW dalam kondisi tertentu. “Ini bukan perubahan syariat, melainkan ijtihad untuk menjaga ruh keadilan dan kemaslahatan umat,” tegasnya, merujuk kaidah fiqih “Taghayyur al-fatwa bi taghayyur al-zaman” (perubahan fatwa seiring perubahan zaman).

Buya Ki Jal, menyatakan, “Selama ini banyak yang mengira hukum Islam kaku. Ternyata, sejak era Sahabat, para ulama sudah mempraktikkan fleksibilitas dengan tetap berpegang pada nash.”

Di bagian penutup, Prof. Sobhan menyentuh isu kekinian. “Hadirnya metaverse, cryptocurrency, dan AI menuntut ulama dan cendekiawan merumuskan hukum yang relevan. Di sinilah klasifikasi lima hukum menjadi alat penting,” katanya. Beliau mencontohkan status hukum NFTn(Non-Fungible Token) yang perlu dikaji ulang apakah masuk kategori mubah, makruh, atau haram bergantung pada implikasi sosialnya.

Sebagai tindak lanjut, takmir Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumbar akan menggelar serial webinar bertajuk “Fiqih untuk Generasi Z”. Buya Ki Jal, Ketua Bidang Dakwah, menjelaskan, “Kami ingin memahamkan anak muda bahwa syariat bukan sekadar larangan, tetapi panduan menuju kehidupan bermartabat.” Materi khutbah Prof. Sobhan juga akan dibukukan dan didistribusikan ke sekolah-sekolah Muhammadiyah se-Sumatera Barat.

Khutbah yang diakhiri dengan doa bersama ini meninggalkan kesan mendalam. Pesannya jelas: klasifikasi hukum bukan untuk mempersulit, melainkan memastikan syariat tetap hidup dalam setiap denyut zaman. Sebagaimana dikatakan Prof. Sobhan, “Syariat adalah lentera; tugas kitalah menyesuaikan fokus cahayanya agar tetap menerangi jalan, di mana pun dan kapan pun.”

Related posts