MINANGKABAUNEWS.com, RELIGI — Puasa Arafah merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Ibadah ini dilaksanakan setiap tanggal 9 Dzulhijjah, sehari sebelum Iduladha, dan memiliki keutamaan besar sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW:
“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menjadi penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim No.197)
Namun dalam praktiknya, penetapan waktu pelaksanaan puasa Arafah kerap menimbulkan perbedaan di kalangan umat Islam dunia. Perbedaan ini terutama muncul antara mereka yang mengikuti kalender hijriah lokal dan mereka yang menyesuaikan dengan waktu wukuf jamaah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.
Pandangan Muhammadiyah: Berpegang pada Kalender Hijriah Lokal
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan bahwa puasa Arafah dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut kalender hijriah lokal masing-masing negara, bukan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Keputusan ini dilandasi pada dalil-dalil syar’i serta aspek realitas historis dan kemaslahatan umat.
Hadis tentang keutamaan puasa Arafah, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, tidak secara eksplisit mengaitkannya dengan aktivitas wukuf. Istilah Yaumu ‘Arafah dalam hadis Nabi SAW menunjukkan penekanan pada tanggal 9 Dzulhijjah itu sendiri, bukan pada peristiwa wukufnya.
Dalam riwayat Ummu al-Fadl dan Maimunah, disebutkan bahwa Nabi SAW tidak berpuasa saat wukuf di Arafah. Bahkan terjadi perdebatan di kalangan sahabat mengenai apakah Rasulullah berpuasa atau tidak pada hari tersebut. Hal ini menandakan bahwa puasa Arafah bukan amalan yang dikhususkan bagi jamaah haji, melainkan untuk kaum Muslimin secara umum.
Muhammadiyah juga menyoroti kenyataan sejarah. Selama berabad-abad sebelum munculnya komunikasi modern, umat Islam di berbagai belahan dunia tidak memiliki akses informasi tentang kapan tepatnya jamaah haji melaksanakan wukuf. Kendati demikian, mereka tetap menjalankan puasa Arafah berdasarkan kalender lokal mereka masing-masing. Maka muncul pertanyaan: Apakah ibadah umat Islam selama ratusan tahun itu dianggap salah? Jawabannya tentu tidak.
Majelis Tarjih juga menegaskan bahwa praktik ini valid secara syariat. Muhammadiyah bahkan terus mengembangkan Kalender Hijriah Global Terpadu (KHGT) sebagai upaya mewujudkan kesatuan kalender Islam dunia berbasis hisab, tanpa bergantung pada waktu pelaksanaan ibadah haji.
Konsekuensinya, penetapan puasa Arafah dan Hari Raya Iduladha versi Muhammadiyah bisa berbeda dengan pemerintah atau dengan Arab Saudi, tergantung pada metode penetapan awal Dzulhijjah. Namun, perbedaan ini dianggap wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan, selama setiap pihak berpegang pada dalil yang diyakini dan prinsip ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keutamaan Puasa Arafah: Penghapus Dosa Dua Tahun
Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa. Dalam hadis riwayat Abu Qatadah, Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa pada hari Arafah menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghapusan dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar seperti syirik, zina, meninggalkan salat, dan lainnya, tetap memerlukan taubat nasuha dengan memenuhi empat syarat utama: menyesali, meninggalkan, bertekad tidak mengulangi, dan mengganti dengan amal saleh.
Dengan demikian, puasa Arafah menjadi momen spiritual yang sangat berharga. Ia menjadi ladang untuk menyucikan jiwa, memperbanyak amal kebajikan, serta menumbuhkan harapan akan ampunan dan kasih sayang Allah SWT. Di tengah hiruk-pikuk dunia, puasa Arafah adalah kesempatan untuk memperbarui niat dan membersihkan hati.
Redaksi MINANGKABAUNEWS mengajak seluruh umat Islam untuk menjadikan puasa Arafah sebagai momentum introspeksi dan penguatan spiritual. Bagi yang tidak berhaji, ini adalah jalan untuk meraih keutamaan yang dijanjikan Rasulullah SAW.






