Oleh: Ki Jal Atri Tanjung | Advokat
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sedang berada di persimpangan yang berbahaya. Bukan karena ia melakukan kesalahan, tetapi justru karena ia terlalu benar di tengah sistem yang sudah terlalu lama berdamai dengan kebusukan.
Serangan demi serangan kini menghujaninya. Terencana, masif, dan datang dari berbagai arah. Namun alih-alih surut, mantan perwira polisi ini justru melangkah lebih jauh ke dalam jurang yang sudah ia gali sendiri—jurang yang akan menelan siapa saja yang terlalu lama bermain-main dengan uang rakyat.
“Saya tidak pernah berniat menyerang siapa pun,” katanya. “Tapi kalau kebenaran dianggap serangan, mungkin kita terlalu lama hidup dalam kebohongan dan kemunafikan.”
Kalimat itu bukan sekadar retorika. Ini adalah cermin dari kondisi Indonesia hari ini, di mana transparansi justru dianggap ancaman, dan integritas malah memicu kecurigaan.
Melawan Kebiasaan, Bukan Orang
Purbaya tidak datang ke dunia politik untuk berperang melawan individu. Ia datang untuk melawan kebiasaan—kebiasaan jual-beli jabatan, proyek fiktif, mark-up anggaran, dan seluruh ekosistem korupsi yang sudah mengakar hingga ke sumsum birokrasi.
Tantangannya bukan main-main. Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar penyimpangan, tetapi sudah menjadi sistem. Ia sistemik, terstruktur, dan dilindungi oleh jejaring kekuasaan yang kuat. Sebagian kepala daerah masih asyik bermain-main dengan dana transfer. Sebagian pengusaha masih menganggap proyek pemerintah sebagai ladang rente pribadi.
Dan ketika Purbaya mulai membongkar praktik ini, reaksi yang muncul bukan introspeksi, melainkan serangan balik. Mereka menggali masa lalunya, mencari celah, memfitnah. Tapi seperti yang ia katakan: “Mereka akan menemukan sesuatu, tapi bukan tentang saya—tentang mereka sendiri.”
Kekuatan Moral di Tengah Tekanan Politik
Yang membedakan Purbaya dari deretan menteri sebelumnya adalah kekuatan moral perjuangannya. Ia bukan malaikat, ia mengakui itu. Tapi ia tahu betul perbedaan antara yang salah dan yang benar. Dan dalam iklim politik yang penuh kompromi, pendirian semacam ini adalah barang langka.
Ia menegaskan bahwa semua data sudah diverifikasi, semua transaksi sudah dicocokkan, dan semua komunikasi sudah diserahkan ke lembaga resmi. Ini bukan main-main. Ini bukan kampanye politik murahan. Ini adalah upaya serius untuk menyelamatkan negara dari permainan yang sudah terlalu lama dibiarkan.
“Kalau yang bersih dianggap ancaman, berarti kita sedang hidup di sistem yang kotor,” ujarnya.
Dan memang begitulah adanya. Ketika seseorang yang jujur dianggap berbahaya, itu artinya sistem sudah terlalu busuk untuk diselamatkan tanpa operasi besar-besaran.
Arogansi atau Ketakutan?
Mereka yang menyerang Purbaya kini menampilkan wajah arogan. Mereka adalah segelintir penguasa yang sekaligus pengusaha, yang sudah kaya raya dari hasil menguras uang negara. Mereka seolah-olah tidak takut, seolah-olah kebal hukum.
Tapi jangan salah. Di balik arogansi itu ada kecemasan yang mendalam. Ada ketakutan bahwa kejahatan yang mereka lakukan selama ini—menyalahgunakan kewenangan, kekuasaan, dan keuangan negara untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompok—akan terbongkar di hadapan publik.
Dan itulah yang membuat Purbaya begitu berbahaya bagi mereka. Bukan karena ia punya senjata, tetapi karena ia punya data. Bukan karena ia berteriak, tetapi karena ia diam dan membiarkan fakta berbicara.
Harapan yang Rapuh
Purbaya Yudhi Sadewa kini menjadi simbol harapan. Namanya trending di seluruh dunia, disebut sebagai sosok yang mengguncang sistem lama. Tapi harapan ini rapuh. Ia berdiri sendirian di tengah gelombang perlawanan yang datang dari segala penjuru.
Ia membutuhkan dukungan. Bukan sekadar dukungan moral, tetapi dukungan struktural—dari lembaga penegak hukum, dari DPR, dari media, dan yang terpenting, dari rakyat.
Karena tanpa dukungan itu, reformasi yang ia perjuangkan hanya akan menjadi episode singkat dalam sejarah panjang korupsi Indonesia. Satu nama mungkin jatuh, tapi sistem akan tetap berdiri.
Purbaya sendiri menyadari ini. “Ini belum selesai,” katanya. “Masih ada yang lebih besar di balik semua ini.”
Dan di situlah letak ujian sesungguhnya. Bukan pada seberapa keras ia menyerang, tetapi pada seberapa lama ia bertahan ketika seluruh sistem berusaha melumpuhkannya.
Kita selalu bicara tentang reformasi. Tapi siapa yang berani menyentuh akar masalahnya? Hari ini, Purbaya menjawab pertanyaan itu dengan tindakan nyata.
Tinggal menunggu: apakah kita akan membiarkannya berjuang sendirian, atau kita akan berdiri di sampingnya?
Karena jika hari ini rakyat sudah berani bicara, maka tugas kita hanya satu—memastikan suara itu tidak dibungkam.
*/Ki Jal Atri Tanjung adalah advokat dan pengamat hukum.






