MINANGKABAUNEWS.COM, INTERNATIONAL – Pendapatan Rusia dari ekspor minyak dan gas (migas) diperkirakan akan mengalami kenaikan yang cukup tinggi tahun ini. Hal ini terjadi saat negara itu menghadapi embargo migas dari negara-negara Barat akibat serangan ke Ukraina.
Dalam pemberitaan Reuters, sebuah dokumen kementerian ekonomi merinci pendapatan Rusia dari ekspor energi akan menjadi US$ 337,5 miliar atau setara Rp 5 ribu triliun tahun ini. Angka ini 38% lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 lalu.
“Harga ekspor rata-rata gas akan lebih dari dua kali lipat tahun ini menjadi US$ 730 (Rp 10,8 juta) per 1.000 meter kubik, sebelum secara bertahap turun hingga akhir 2025,” menurut perkiraan yang dikutip Jumat (19/8/2022).
Walau begitu, analis ekonomi menganggap ledakan pendapatan energi yang mungkin didapatkan Rusia ini masih belum mampu untuk mengangkat perekonomian itu secara keseluruhan akibat sanksi. Masih ada sektor-sektor yang mengalami penurunan cukup serius.
“Dampak sanksi terhadap ekonomi Rusia sangat tidak merata. Di beberapa sektor, hal itu menjadi bencana besar, seperti industri mobil. Sektor minyak relatif tidak terluka untuk saat ini,” kata rekanan senior di Institut Jerman untuk Internasional dan Urusan Keamanan, Janis Kluge.
Kluge menyebut selain otomotif, sektor teknologi komunikasi dan keuangan mendapatkan pukulan paling kuat akibat sanksi. Pasalnya, bidang-bidang ini memiliki hubungan yang kuat dengan negara Barat.
Aliran gas dari Rusia, pemasok utama Eropa, berjalan pada tingkat yang berkurang tahun ini setelah Moskow mengirim pasukan ke Ukraina pada Februari. Aliran ini terputus karena beberapa negara Eropa menolak untuk membayar gas dengan mata uang rubel dan juga persoalan turbin pipa gas Nord Stream I yang tak dapat beroperasi akibat sanksi.
Sebagai akibatnya, harga energi pun melonjak tajam. Para konsumen di benua Eropa pun menghadapi ancaman penjatahan energi pada musim dingin tahun ini dan juga inflasi yang tinggi