MINANGKABAUNEWS, FEATURE —
Di sebuah nagari yang dikelilingi perbukitan hijau dan sawah yang berundak-undak, sebuah rumah gadang berdiri tegak. Atap gonjongnya menusuk langit, seakan menjadi penanda bahwa di balik kayu dan papan tua itu, tersimpan cerita panjang tentang warisan yang tak lekang dimakan waktu: harato pusako tinggi.
“Tanah ini bukan punyo awak surang, nak. Tapi punyo kaum,” begitu suara seorang ninik mamak terdengar pelan tapi tegas ketika menegaskan sesuatu yang bagi orang Minang tak bisa ditawar. Harta pusaka tinggi bukan sekadar aset atau kekayaan. Ia adalah nadi yang menghubungkan generasi ke generasi, identitas yang lebih berharga dari emas, dan pagar sosial yang menjaga agar sebuah kaum tetap utuh.
Pusaka yang Turun dari Ibu
Berbeda dari banyak tradisi lain di Indonesia, sistem pewarisan Minangkabau berjalan matrilineal. Tanah, sawah, ladang, rumah gadang, bahkan simbol kebesaran seperti keris atau pakaian adat diwariskan bukan dari ayah ke anak, melainkan dari ibu kepada anak perempuan. Seorang perempuan Minang tidak hanya mewarisi harta, tetapi juga tanggung jawab untuk merawatnya.
“Kalau di tempat lain orang bilang harta itu untuk dibagi, di Minang harta itu untuk dijaga,” ujar Buya Dr. Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI Sumatera Barat, dalam sebuah kajian Fiqh Minangkabau.
Bukan Milik Individu
Tak ada yang bisa mengklaim pusaka tinggi sebagai miliknya pribadi. Ia adalah milik kolektif, milik kaum. Perempuan memegang kunci rumah dan sawah, sementara ninik mamak—para paman dari pihak ibu—bertugas sebagai pengawas, memastikan harta itu tetap utuh dan tidak berpindah tangan sembarangan.
Ada aturan adat yang tegas: harato pusako tinggi tidak boleh dijual, tidak boleh digadai, kecuali dalam keadaan mendesak. Misalnya, ketika keluarga benar-benar terhimpit kebutuhan hidup. Itupun, harus ada musyawarah dan persetujuan ninik mamak.
Fungsi Sosial dan Ekonomi
Pusako tinggi adalah penopang kehidupan. Sawah yang diwariskan menjadi sumber beras, ladang menjadi ruang bercocok tanam, rumah gadang menjadi tempat kembali ketika ada pertemuan kaum atau hajatan. Lebih jauh, pusako tinggi adalah simbol persatuan: selama tanah itu tetap ada, kaum tetap terikat.
“Di Minangkabau, kehilangan pusako tinggi sama artinya kehilangan muka. Karena dari situlah martabat kaum diukur,” kata seorang alim ulama di nagari Lintau.
Pusako Tinggi vs Pusako Randah
Untuk memahami kedudukannya, orang Minang membedakan antara pusako tinggi dan pusako randah. Jika pusako tinggi adalah warisan turun-temurun yang kolektif, maka pusako randah adalah hasil pencaharian seseorang—misalnya tanah atau rumah yang dibeli dari usaha sendiri. Pusako randah bisa diwariskan kepada anak-anaknya secara individu, tak terikat adat kolektif.
Antara Adat dan Modernitas
Namun, pusako tinggi kini menghadapi tantangan baru. Nilai tanah di Sumatera Barat kian melambung, kebutuhan ekonomi keluarga semakin beragam, dan generasi muda banyak yang merantau. Bagaimana menjaga pusaka tetap utuh ketika godaan untuk menjualnya semakin besar?
“Di sinilah pentingnya peran adat,” ujar Buya Gusrizal. “Kalau pusako tinggi hilang, maka hilanglah benteng terakhir yang menjaga kebersamaan kaum Minangkabau.”
Pada akhirnya, pusako tinggi bukan sekadar harta. Ia adalah cerita panjang tentang bagaimana orang Minang memandang kepemilikan, kebersamaan, dan identitas. Di balik sawah yang menghijau dan rumah gadang yang kokoh, ada filosofi yang jarang ditemukan di tempat lain: bahwa warisan sejati bukanlah apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita jaga bersama.






