MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Lupakan gaya mengajar ala sekolah dengan guru yang berkuasa penuh di depan kelas. Era pembelajaran orang dewasa butuh revolusi: instruktur hanya jadi fasilitator, sementara peserta yang memegang kendali penuh.
Inilah yang digaungkan Dr. Syuraini, M.Pd, Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Barat, dalam sesi Hari Kedua kedua Training of Trainers (TOT) Mubalighat tingkat wilayah di Aula PW ‘Aisyiyah Sumbar, Sabtu (27/9). Pelatihan tiga hari ini berlangsung 26-28 September 2025.
Dengan materi “Strategi Pembelajaran Orang Dewasa”, Syuraini membongkar mitos bahwa mengajar dewasa sama dengan mengajar anak-anak. “Salah besar kalau masih pakai pendekatan top-down. Orang dewasa punya pengalaman, kemandirian, dan tujuan yang jelas,” tegas perempuan yang juga akademisi ini.
Empat Syarat Mutlak: Tanpa Ini, Pembelajaran Gagal Total
Syuraini menegaskan, ada empat kondisi wajib yang tak boleh diabaikan:
Keinginan murni – Peserta harus datang dengan kesadaran penuh, bukan karena terpaksa
• Kebebasan berpendapat – Tidak ada sensor atau tekanan dari fasilitator
• Lingkungan kondusif – Komunikasi dua arah, bahkan multi-arah
• Variasi teknik – Metode monoton adalah pembunuh motivasi
“Sekali Anda melanggar prinsip ini, jangan harap transfer knowledge berjalan lancar. Orang dewasa mudah bosan dan punya power untuk keluar,” cetusnya.
Enam Senjata Andragogi: Dari Simulasi Hingga Game
Syuraini kemudian membeber enam strategi ampuh yang telah terbukti efektif:
1. Experiential Learning – Belajar Sambil Berbuat
Metode learning by doing dengan studi kasus riil. “Contohnya, peserta langsung praktik naik mimbar, mulai dari salam pembuka dalam bahasa Arab sampai teknik komunikasi dengan jemaah,” jelasnya.
2. Collaborative Learning – Kekuatan Tim
Teknik diskusi kelompok dan metode Jigsaw, di mana setiap anggota jadi expert untuk satu topik, lalu mengajarkan ke yang lain.
3. Self-Directed Learning – Peserta Jadi Bos
Fasilitator mundur ke belakang, biarkan peserta memilih topik yang mereka minati. “Kontrol ada di tangan mereka, bukan kita,” ujarnya.
4. Problem-Based Learning – Mulai dari Masalah Nyata
Lemparkan kasus konkret di awal sesi, biarkan peserta mencari solusi secara mandiri dan berkolaborasi.
5. Gamification – Belajar Sambil Main
Sistem poin, tantangan, dan kompetisi sehat. Misalnya, permainan mencocokkan istilah agama dengan artinya.
6. Project-Based Learning – Karya Nyata
Peserta diminta menghasilkan materi dakwah yang relevan dengan isu-isu kontemporer di masyarakat.
Pelatihan ini menjadi krusial untuk membekali para mubalighat ‘Aisyiyah menghadapi tantangan dakwah modern. Dengan pendekatan andragogi, mereka diharapkan berevolusi dari sekadar penerima informasi menjadi agen perubahan yang aktif dan inovatif dalam menyebarkan nilai-nilai Islam.
“Zaman sudah berubah. Jamaah sekarang lebih kritis dan punya akses informasi luas. Mubalighat harus adaptasi atau akan tertinggal,” pungkas Syuraini.






